Selasa, 09 April 2013

Tatapan Mata dalam Maya


Aku di sini tak berjarak dengan semua koneksi yang bisa menghubungkan rinduku dan rindumu. Kusingkirkan semua hal yang dapat menambah milimeter jarak antara sosokmu dalam imajiku. Aku bersiap mengambil posisi terbaik di depan wabcam yang dapat menangkap keseluruhan dari rinduku. Menanti wajah teduhmu masuk ke layar laptopku adalah saat-saat yang menegangkan bagiku. 

Now we’re connecting…

Selamat senja, Putra.
Ketika aku melihat wajahmu, maka lelahku luntur tersapu sekejap mata, Putra. Aku jadi teringat, jika aku melahap habis senyummu senja ini, akankah senyum itu yang kau sajikan untuk perempuan lain di luar sana? Aku harap tidak, karna ulah senyuman itu kau membuatku jatuh ke lautan tersunyi yang pernah kutemui.

Selamat senja, Sunny.
Senyum ini sebenarnya bukan untukmu, tapi untuk setiap senyummu. Jika kau tersenyum, senyumku akan mengikuti setiap lengkung senyummu. Kau pasti tak pernah melewatkan pelangi, bukan? Kau pasti sudah paham, jika pita merah bianglala itu melengkung sempurna, lengkung pita jingganya pun tak pernah kalah sempurna. Senyummu merah, senyumku jingga.
Bagaimana harimu, gadisku? Ah, pertanyaan klise. Aku selalu kehabisan kata jika kau tersenyum seperti itu.

Hariku ini biasa saja, Putra, tapi itu hanya berlaku sebelum kujamah habis wajahmu. Kamu tahu, kan, kalau kamu paling ahli menyulap hariku yang biasa menjadi sempurna tak terkira, Putraku, cahaya keduaku.
Ribuan zaman telah kuhabiskan dalam kesunyian, dan kau hadir di saat yang telah Tuhan tentukan, Putra, ketika pertama mata kita saling bertemu nyatanya aku merasa telah lama mengenal teduh itu. Teduh yang kau pancarkan dari kedua bola matamu.

Ah, kau bawa lagi ingatan itu, Sunny. Ingatan tentang betapa cinta yang diam-diam menyelinap masuk melalui celah-celah kecil di hatiku itu, semakin indah sejak kutatap matamu dalam-dalam. Semakin kuat sejak kugenggam jemarimu erat-erat. Dan semakin tumbuh besar sejak kita tak lagi punya daya menyimpan cinta rapat-rapat. Hingga semua rasa tumpah dalam waktu-waktu bersama yang kita beri makna.
Tapi apa daya, kini kita hanya bisa bertatap dalam layar kecil ini. Jemarimu tak bisa lagi kugenggam erat. Tapi kuyakinkan kepadamu, gadisku, aku tak pernah lupa melangitkan doa dalam setiap malam-malamku sebelum aku terlelap. Aku selalu meminta Tuhan kita, agar Dia bersedia pertemukan aku dan kau, meski hanya dalam mimpi. Dan tak pernah alpa kusambut hadirmu di alam surgawi yang tercipta saat mata ini terpejam.

Aku memang bukan sejarawan yang menghafal setiap detail peristiwa berkembangnya kerajaan Majapahit, tapi cukup bagiku bila dengan fasih dapat kuulang potongan sejarah berkembangnya perasaan aku terhadapmu, Putraku.
Salahkanlah aku! Karena ketika dulu tak dengan serius kupelajari tentang teori Fisika. Karena ketika kita berada dalam satu frekuensi, seketika hatiku jatuh dipangkuanmu dan lupa akan gravitasi.

Tak perlu menyalahkan apa dan siapa. Akulah yang bersalah, hingga membiarkan bentangan jarak menjadi penghalang bertemunya tatap kita. Tapi kau tetap tenang ya di sana, tunggulah saat-saat aku kembali. Saat-saat nanti kugenggam lagi jemarimu, saat-saat nanti kutatap lagi matamu dalam-dalam.
Gadisku, yang sangat aku rindukan. Aku pergi hanya sementara, berjuang merintis bahtera masa depan kita, agar kelak kita siap berlayar mengarungi samudra kehidupan kita.

Ah, begitu nampakkah kegundahan dalam wajahku ini hingga dengan cekatan kamu menenangkanku dengan barisan kata-kata indahmu? Aku akan menanti kamu, Putra, pangeran tanpa kuda gagah dalam hidupku.
Aku masih mengigat janji yang kamu tandakan dalam kalender surga, Putra, biar sela jari yang tercipta untuk diisi oleh jarimu masih kosong tak berpenghuni, tak apa. Asal kamu mengisi setiap sudut dalam ruang sadar dan tak sadar dalam otakku.
Putra, dominasi not dalam detak jantungku.
Pernah ku memahami jelas tentang lensa cembung, cekung dan datar, urutan proses sebelum benda terefleksi sempurna. Setelahku mengenalmu, maka terciptalah lensa baru, kunamakan ini lensa cinta karna dalam lensa cinta bayanganmu masuk ke dalam lensaku, menetap dan diperbesar setiap harinya.

Sunny,
Tak satu detik pun dalam hari-hariku cinta itu berkurang, cinta yang kita jaga dengan penjagaan yang kita serahkan kepada Tuhan, Sang Pencipta rasa itu sendiri. Biarkanlah Dia genggam janji-janji kita, hingga nanti, jika saatnya sudah datang, janji-janji itu akan mampu kita penuhi dengan segala kekuatan yang Dia pinjamkan.
Gadisku, yang begitu aku cintai. Kau jangan pernah lupa mendoakanku, ya. Karena dengan doamu dari sana, aku tenang dalam pengembaraanku di sini. Doakanlah aku senantiasa, maka angin akan sedia mengalirkan doa-doa itu menuju singgasana-Nya.

Ah, sayang, kamu mengingatkanku untuk mendoakanmu? Itu sama saja kau menggurui katak untuk melompat, karna nyatanya di setiap helaan nafasku, sempurna teruntai doa yang beralamatkan untukmu.
Putra, kini aku hanya memiliki satu rangkaian setia dan satu kotak berisikan hati, apakah itu cukup untuk bekal perjalanan panjang kita sampai nanti?

Aku tahu, Sunny.
Aku hanya memastikan agar doa-doa yang kita langitkan bisa bersama-sama sampai di hadapan-Nya dan menunggu waktu untuk Dia kabulkan.
Bahkan setitik hatimu saja sudah lebih dari cukup, sayang. Tak perlu kau berikan seluruh hidupmu, tak perlu kau korbankan semua waktumu. Karena hidup dan waktumu bukan untukku, juga hidup dan waktuku bukan untukmu, tapi untuk kita jalani bersama, hingga akhirnya kita tak lagi miliki hidup dan waktu di kala senja menghampiri kita.

Tuhan Maha Pencinta, Dia yang membuat aku dan kamu saling merajut cinta setiap waktu di kala senja, kita lukiskan pelangi ribuan pixel di luasnya langit rindu kita.
Putra, berkat kamu kata “aku dan kamu” sempurna melebur menjadi satu dan terlahirlah kita untuk mewakilkan rasa yang sama-sama kita jaga.

Benar katamu, gadisku, Tuhan Maha Cinta, Maha Kasih, dengan cara-Nya mempertemukan aku dan kamu dalam koridor cinta yang tak terbayangkan olehku sebelumnya. Dia juga Maha Sempurna, betapa Dia sempurnakan rasa yang setia mendiami hati kita meski jarak tak mampu lagi kita taklukkan.
Malam sudah mulai larut, Sunny. Sudah saatnya kita bertemu dalam alam yang memang Tuhan ciptakan bagi setiap hati yang saling mencinta namun terpisah oleh bentang jarak.  Kau tahu, aku sudah tak sabar ingin menyambutmu segera di sana.

Kalaulah dapat kucairkan rinduku maka niscaya seluruh ruang gerakku dipenuhi sesak oleh kata-kata lirih pertanda ingin segera bertemu.
Putraku, nafas keduaku, bulir nadiku.
Rindu ini semakin memuncak setiap detiknya, jika kupejamkan kedua mataku seketika tergambar wajah dan tercium pekat harummu.
Aku memang sedang mempelajari tentang psikologi tapi berkat cintamu dapat kurasakan jelas sosokmu merambah masuk dari alam sadarku sampai alam bawah sadarku, kau menetap di situ.
Ah dasar kamu! Orang yang paling ahli membuatku lupa akan waktu, sudah malam yah, sayang? Inikah pertanda kita harus mengucapkan pisah di tengah jalan?

Apalah arti perpisahan sementara ini, bila nanti kita akan bertemu di alam mimpi, bersatu tanpa seorang yang mengganggu. Masih ada hari esok, gadisku. Mari kita beri waktu bagi rindu untuk kembali memendam butir-butir rasa, hingga esok kutemu kembali wajah manismu dari layar ini lagi. Bercerita lagi tentang harimu. Sekarang saatnya kita jaga kesehatan, ini untuk masa depan kita juga, bukan?

Ini adalah detik aku melepasmu dan aku akan kembali lagi pada kenyataan memeluk bayangmu dan menggenggam hampa jemarimu, terima kasih melodi nafasku. Cukuplah bagiku beristirahat beralaskan kata-kata indahmu dan berselimutkan hangatnya senyumanmu. Temuilah aku di senja yang lain, sayang.
Kamu diam, aku mati.
Kututup percakapan dengan kecanggungan yang mengakar. Ya, aku adalah perempuan yang bodoh dalam mengucap perpisahan seakan kelenturanku dalam merangkai kata menjadi beku seketika wajahmu menghilang dari layar, tapi tidak akan pernah kuizinkan parasmu lenyap dalam ingatan.

We're always Connecting... always.

Read more...
separador