Aku di sini tak berjarak dengan semua koneksi yang bisa
menghubungkan rinduku dan rindumu. Kusingkirkan semua hal yang dapat menambah
milimeter jarak antara sosokmu dalam imajiku. Aku bersiap mengambil posisi
terbaik di depan wabcam yang dapat menangkap keseluruhan dari rinduku. Menanti
wajah teduhmu masuk ke layar laptopku adalah saat-saat yang menegangkan bagiku.
Now we’re connecting…
Selamat senja,
Putra.
Ketika aku melihat wajahmu, maka lelahku luntur tersapu
sekejap mata, Putra. Aku jadi teringat, jika aku melahap habis senyummu senja
ini, akankah senyum itu yang kau sajikan untuk perempuan lain di luar sana? Aku
harap tidak, karna ulah senyuman itu kau membuatku jatuh ke lautan tersunyi
yang pernah kutemui.
Selamat senja, Sunny.
Senyum ini
sebenarnya bukan untukmu, tapi untuk setiap senyummu. Jika kau tersenyum,
senyumku akan mengikuti setiap lengkung senyummu. Kau pasti tak pernah
melewatkan pelangi, bukan? Kau pasti sudah paham, jika pita merah bianglala itu
melengkung sempurna, lengkung pita jingganya pun tak pernah kalah sempurna.
Senyummu merah, senyumku jingga.
Bagaimana harimu,
gadisku? Ah, pertanyaan klise. Aku selalu kehabisan kata jika kau tersenyum
seperti itu.
Hariku ini biasa saja, Putra, tapi itu hanya berlaku sebelum
kujamah habis wajahmu. Kamu tahu, kan, kalau kamu paling ahli menyulap hariku
yang biasa menjadi sempurna tak terkira, Putraku, cahaya keduaku.
Ribuan zaman telah kuhabiskan dalam kesunyian, dan kau hadir
di saat yang telah Tuhan tentukan, Putra, ketika pertama mata kita saling
bertemu nyatanya aku merasa telah lama mengenal teduh itu. Teduh yang kau
pancarkan dari kedua bola matamu.
Ah, kau bawa lagi
ingatan itu, Sunny. Ingatan tentang betapa cinta yang diam-diam menyelinap
masuk melalui celah-celah kecil di hatiku itu, semakin indah sejak kutatap
matamu dalam-dalam. Semakin kuat sejak kugenggam jemarimu erat-erat. Dan
semakin tumbuh besar sejak kita tak lagi punya daya menyimpan cinta
rapat-rapat. Hingga semua rasa tumpah dalam waktu-waktu bersama yang kita beri
makna.
Tapi apa daya, kini
kita hanya bisa bertatap dalam layar kecil ini. Jemarimu tak bisa lagi
kugenggam erat. Tapi kuyakinkan kepadamu, gadisku, aku tak pernah lupa
melangitkan doa dalam setiap malam-malamku sebelum aku terlelap. Aku selalu
meminta Tuhan kita, agar Dia bersedia pertemukan aku dan kau, meski hanya dalam
mimpi. Dan tak pernah alpa kusambut hadirmu di alam surgawi yang tercipta saat
mata ini terpejam.
Aku memang bukan sejarawan yang menghafal setiap detail
peristiwa berkembangnya kerajaan Majapahit, tapi cukup bagiku bila dengan fasih
dapat kuulang potongan sejarah berkembangnya perasaan aku terhadapmu, Putraku.
Salahkanlah aku! Karena ketika dulu tak dengan serius
kupelajari tentang teori Fisika. Karena ketika kita berada dalam satu
frekuensi, seketika hatiku jatuh dipangkuanmu dan lupa akan gravitasi.
Tak perlu
menyalahkan apa dan siapa. Akulah yang bersalah, hingga membiarkan bentangan
jarak menjadi penghalang bertemunya tatap kita. Tapi kau tetap tenang ya di
sana, tunggulah saat-saat aku kembali. Saat-saat nanti kugenggam lagi jemarimu,
saat-saat nanti kutatap lagi matamu dalam-dalam.
Gadisku, yang
sangat aku rindukan. Aku pergi hanya sementara, berjuang merintis bahtera masa
depan kita, agar kelak kita siap berlayar mengarungi samudra kehidupan kita.
Ah, begitu
nampakkah kegundahan dalam wajahku ini hingga dengan cekatan kamu menenangkanku
dengan barisan kata-kata indahmu? Aku akan menanti kamu, Putra, pangeran tanpa
kuda gagah dalam hidupku.
Aku masih mengigat janji yang kamu tandakan dalam kalender surga,
Putra, biar sela jari yang tercipta untuk diisi oleh jarimu masih kosong tak
berpenghuni, tak apa. Asal kamu mengisi setiap sudut dalam ruang sadar dan tak
sadar dalam otakku.
Putra, dominasi
not dalam detak jantungku.
Pernah ku memahami jelas tentang lensa cembung, cekung dan
datar, urutan proses sebelum benda terefleksi sempurna. Setelahku mengenalmu,
maka terciptalah lensa baru, kunamakan ini lensa cinta karna dalam lensa cinta
bayanganmu masuk ke dalam lensaku, menetap dan diperbesar setiap harinya.
Sunny,
Tak satu detik pun
dalam hari-hariku cinta itu berkurang, cinta yang kita jaga dengan penjagaan
yang kita serahkan kepada Tuhan, Sang Pencipta rasa itu sendiri. Biarkanlah Dia
genggam janji-janji kita, hingga nanti, jika saatnya sudah datang, janji-janji itu
akan mampu kita penuhi dengan segala kekuatan yang Dia pinjamkan.
Gadisku, yang
begitu aku cintai. Kau jangan pernah lupa mendoakanku, ya. Karena dengan doamu
dari sana, aku tenang dalam pengembaraanku di sini. Doakanlah aku senantiasa,
maka angin akan sedia mengalirkan doa-doa itu menuju singgasana-Nya.
Ah, sayang, kamu mengingatkanku untuk mendoakanmu? Itu sama
saja kau menggurui katak untuk melompat, karna nyatanya di setiap helaan nafasku,
sempurna teruntai doa yang beralamatkan untukmu.
Putra, kini aku hanya memiliki satu rangkaian setia dan satu
kotak berisikan hati, apakah itu cukup untuk bekal perjalanan panjang kita
sampai nanti?
Aku tahu, Sunny.
Aku hanya
memastikan agar doa-doa yang kita langitkan bisa bersama-sama sampai di
hadapan-Nya dan menunggu waktu untuk Dia kabulkan.
Bahkan setitik
hatimu saja sudah lebih dari cukup, sayang. Tak perlu kau berikan seluruh
hidupmu, tak perlu kau korbankan semua waktumu. Karena hidup dan waktumu bukan
untukku, juga hidup dan waktuku bukan untukmu, tapi untuk kita jalani bersama,
hingga akhirnya kita tak lagi miliki hidup dan waktu di kala senja menghampiri
kita.
Tuhan Maha Pencinta, Dia yang membuat aku dan kamu saling
merajut cinta setiap waktu di kala senja, kita lukiskan pelangi ribuan pixel di luasnya langit rindu kita.
Putra, berkat kamu kata “aku dan kamu” sempurna melebur
menjadi satu dan terlahirlah kita untuk mewakilkan rasa yang sama-sama kita
jaga.
Benar katamu,
gadisku, Tuhan Maha Cinta, Maha Kasih, dengan cara-Nya mempertemukan aku dan kamu
dalam koridor cinta yang tak terbayangkan olehku sebelumnya. Dia juga Maha
Sempurna, betapa Dia sempurnakan rasa yang setia mendiami hati kita meski jarak
tak mampu lagi kita taklukkan.
Malam sudah mulai
larut, Sunny. Sudah saatnya kita bertemu dalam alam yang memang Tuhan ciptakan
bagi setiap hati yang saling mencinta namun terpisah oleh bentang jarak. Kau tahu, aku sudah tak sabar ingin
menyambutmu segera di sana.
Kalaulah dapat kucairkan rinduku maka niscaya seluruh ruang
gerakku dipenuhi sesak oleh kata-kata lirih pertanda ingin segera bertemu.
Putraku, nafas
keduaku, bulir nadiku.
Rindu ini semakin memuncak setiap detiknya, jika kupejamkan
kedua mataku seketika tergambar wajah dan tercium pekat harummu.
Aku memang sedang mempelajari tentang psikologi tapi berkat
cintamu dapat kurasakan jelas sosokmu merambah masuk dari alam sadarku sampai
alam bawah sadarku, kau menetap di situ.
Ah dasar kamu! Orang yang paling ahli membuatku lupa akan waktu, sudah malam yah, sayang? Inikah pertanda kita harus mengucapkan pisah di tengah jalan?
Ah dasar kamu! Orang yang paling ahli membuatku lupa akan waktu, sudah malam yah, sayang? Inikah pertanda kita harus mengucapkan pisah di tengah jalan?
Apalah arti
perpisahan sementara ini, bila nanti kita akan bertemu di alam mimpi, bersatu
tanpa seorang yang mengganggu. Masih ada hari esok, gadisku. Mari kita beri
waktu bagi rindu untuk kembali memendam butir-butir rasa, hingga esok kutemu
kembali wajah manismu dari layar ini lagi. Bercerita lagi tentang harimu.
Sekarang saatnya kita jaga kesehatan, ini untuk masa depan kita juga, bukan?
Ini adalah detik aku melepasmu dan aku akan kembali lagi
pada kenyataan memeluk bayangmu dan menggenggam hampa jemarimu, terima kasih
melodi nafasku. Cukuplah bagiku beristirahat beralaskan kata-kata indahmu dan
berselimutkan hangatnya senyumanmu. Temuilah aku di senja yang lain, sayang.
Kamu diam, aku mati.
Kututup percakapan dengan kecanggungan yang mengakar. Ya,
aku adalah perempuan yang bodoh dalam mengucap perpisahan seakan kelenturanku
dalam merangkai kata menjadi beku seketika wajahmu menghilang dari layar, tapi
tidak akan pernah kuizinkan parasmu lenyap dalam ingatan.
We're always Connecting... always.