Matahari
sangat bersinar terik siang itu, tepat berada diatas ubun-ubun dan menyengat
masuk langsung ke kepala. Ya, siang itu adalah kali pertamannya aku menekan
keras tubuhku keatas demi terpecahnya lapisan cangkang yang selama ini
membatasi ruang gerak ku. Aku sudah merasa harus keluar siang itu, tak betah ku
harus berlama-lama membenamkan kepalaku dalam ruang sesak bernama membran. Kurasakan
getaran hebat tepat disebelahku, oh mungkin dia saudaraku. Sial kecurian start
dengannya!
“KREEKz”
Huuuh
lega rasanya menghirup udara bebas seperti ini, ketika ku mulai menghancurkan
satu bagian dari cangkangku terlihat jelas sosok besar dan gagah di depan. Dia mengepakkan
kedua sayapnya yang lebar demi menghalau teriknya sinar. Ku lihat dia
tersenyum, bahkan dapat terlihat jelas dia menangis terharu ketika melihatku
dan saudaraku keluar satu per satu. Hey! Aku tahu kalian manusia, percayalah kami
juga dapat tertawa, tersenyum, menangis bahkan berdo’a seperti kalian. Kalian kira
hanya kalian saja yang dapat melakukan semua itu? Kami pun juga. Oke ku
lanjutkan, setelah aku dan kedua saudaraku terlepas dari cangkang menyulitkan
itu, sosok besar dan gagah itu mendekap hangat. Bulu-bulunya terlihat kasar di
luar tapi ternyata sangat halus di bagian dalam, dia membisikkan pada kita satu
kalimat pertama yang sangat menggetarkan telinga.
“selamat
datang di dunia yang sangat indah ini anakku, sungguh seluruh dunia sangat
menanti kehadiran kalian sejak lama” – ibu, ternyata sosok yang ada di depan
kami adalah ibu. Dia bisikkan lirih kalimat itu seraya memeluk erat kami.
***
Hari
berganti hari, malam berganti malam, tubuh ku dan kedua saudaraku semakin
tumbuh besar. Sesekali ibu berpamitan pergi untuk mencarikan kami makanan,
sesekali ibu memercikkan air untuk memandikan kami. Aku adalah anak yang paling
terakhir keluar dari cangkang, jadi aku dalah anak mmh kalian menyebutnya apa? Anak
bungsu? Atau anak bontot? Ya, apapun kalian menyebutnya yang jelas aku adalah
anak terakhir di keluarga.
“ibu
kemana?” – kalimat pertamaku ketika membuka mata pagi itu.
“cari
makan buat kita laah. Hey lihat kita sudah dapat berdiri dan mengepakkan sayap.
Kau bisa juga tidak?”
Cih
ternyata kedua saudara ku itu sedang memamerkan diri, “ini kan masih pagi”
gumamku dalam hati.
“aku
bisa, tapi kalau sekarang aku tak mau. Lebih baik berkemul dibalik selimutku
dibanding memamerkan hal sepele itu. Setiap kita kan pasti bisa berdiri dan
mengepakkan sayap.” – jawabku sekenanya.
Pffft
kenapa meraka selalu seperti itu terhadapku? Apa karna aku anak bungsu? Hey ini
untuk kalian juga yang membaca, camkan kata-kataku yang satu ini. Tidak selamanya
anak bungsu itu manja, bahkan boleh jadi kelak dia akan tumbuh lebih dewasa
dari yang kalian kira.
Sempat
aku berfikir apa hebatnya menjadi aku? Menjadi burung biasa yang masih belum
punya keinginan untuk terbang. Burung memang seharusnya terbang, tapi kalau aku
juga terbang apa bedanya dangan burung-burung yang lain? Sama saja. Biasa saja.
Ingin menjadi yang diluar dari kebiasaan? Ya berkeputusan untuk tidak terbang
mungkin bisa menjadi salah satu pilihan.
Kedua
saudaraku sudah melalang buana di sekitaran rumah, aku? Masih disini saja ha
ha.
“kemarin
aku hinggap di salah satu jendela rumah di seberang hutan sana, dan kulihat
pemiliknya sedang menonton sebuah tanyangan. Aku melihat seseorang yang mirip
dengan kita. Tapi dia sedang mencabik-cabik bangkai yang tergeletak. Terdengar juga
bahwa ternyata kita adalah salah satu species raptor (burung pemangsa) dan
eerghh memang terlihat jelas di tanyangan itu. Ah andai kalian juga melihat,
mungkin akan mengutuk diri kalian sendiri.” – ulasan cerita salah satu
saudaraku setelah dia berkeliling memutar.
***
Cerita
salah satu sadaraku sangat terngiang sampai malam. Aku gelisah. Tidur pun
menjadi resah. Tetap tidak terima jika ternyata aku adalah salah satu makhluk
yang boleh jadi sangat dimusuhi karna cap keganasan yang terlanjur disematkan.
“nak,
sudah tidurkah kamu? Apakah udara mala mini terlalu panas sampai membuatmu tak
nyaman seperti itu?” – teguran ibu membuyarkan lamunanku.
Aku
berbalik dan kulihat wajah ibu, iya dari garis mukanya dia sangat kuat tapi
andai saja kalian bisa melihat lebih jelas pada matanya, ah bahkan kelembutan
tatapan mata ibu melebihi lembut bulu-bulunya.
“ibu,
buat apa kita hidup jika untuk mengakhiri hidup orang lain? Buat apa kita
diciptakan jika hanya untuk menghilangkan ciptaan yang lain? Buat apa kita
memiliki kekuatan jika hanya untuk meremukkan kekuatan yang lain?” – kalian tahu?
Aku sudah tidak tahan menahan tanda Tanya besar dalam pikiran ku sendirian. Setidaknya
jika kutanyakan pada ibu, aku bisa berbagi tanda Tanya dengannya.
Ibu
tersenyum. Menggeserkan tubuhku untuk mendekat padanya.
“pertanyaan
yang sangat bagus dan indah anakku. Ibu saja tidak pernah membayangkan kau akan
melontarkan pertanyaan itu pada ibu. Tapi baiklah akan ibu jawab pertanyaanmu
sebisaku. Anakku, di dalam kehidupan ini akan selalu ada pertanyaan yang perlu
dijawab secara gamblang. Didalam kehidupan ini terdapat roda besar ekosistem
yang tidak dapat dihentikan. Kita hidup bukan untuk mengakhiri hidup orang
lain, tapi akan terdapat titah Tuhan yang telah Dia sematkan pada diri kita
masing-masing. Kalaulah jiwa-jiwa lama harus pergi, maka akan selalu ada
jiwa-jiwa baru yang mengganti. Itu janji Tuhan nak dan Tuhan tidak akan
mengingkari setiap janji yang Dia lontarkan.
Anakku,
dalam titah yang telah Tuhan sematkan selalu terkandung kekuatan didalamnya. Setiap
kita telah disisipkan modal keberanian olehNya, dan sekarang tugas kita adalah
terus meningkatkan keberanian agar terkikisnya kegelisahan dan ketakutan pada
sesuatu hal yang tidak perlu.
Sekarang
ibu ingin meminta pertolongan darimu, maukah kau membantu ibu?”
Aku
meng-iya-kan dengan sangat yakin. Bagaimana mungkin aku menolak menolong ibu
yang telah berkorban banyak untukku?
“nak,
sekarang ibu titipkan lentera kecil yang didalamnya terdapat api. Ibu minta kau
untuk menjaga agar apinya terus menyala, karna jika api itu mati maka seluruh
dunia menjadi gelap gulita. Gelap dan terangnya dunia ini tergantung oleh api
yang ada didalam lentara milikmu. Lalu, apa yang dapat kamu lakukan untuk
mempertahankan api itu?”
Aku
diam sejenak, memikirkan dalam tentang hal yang akan aku lakukan. Hey, sekarang
bagaimana dunia tergantung oleh keputusanku. Bagaimana mungkin aku tidak berfikir
keras untuk itu?
“aku
akan menjaga api dalam lentera itu bu, dengan cara aku akan senantiasa
memberikan bahan bakar agar tak kering dan mati apinya. Atau kalau perlu
sesekali akan aku teteskan beberapa minyak di sumbunya. Ya, aku rasa itu akan
menjaga agar apinya tetap menyala” – jawabku yakin.
Ibu
membelai halus kepalaku.
“ada
yang perlu kau ketahui nak, jika kau melakukan itu setiap menit yang ada api
itu tidak akan ragu untuk membakarmu hidup-hidup. Berlakulah sewajarnya, jangan
berlebihan menjaga tapi jangan terlalu cuek juga terhadapnya.
Api
itu seperti keberanian nak, keberanian itu sangat perlu dipupuk namun jangan
berlebihan dari batas yang telah ditentukan. Karna jika keberanian berkembang
pesat tak tertahankan, mungkin bisa saja kau jadi berani melawan titah yang
telah Tuhan sematkan padamu. Seperti halnya api yang di teteskan minyak secara
berlebihan, keberanian yang terlalu berlebihan kelak juga dapat menghancurkan
dirimu sendiri.
Mulai
sekarang, cobalah lawan ketakutan terbesarmu untuk terbang dengan keberanian
yang berapi-api. Karna sungguh nak, kepakkan sayapmu sangat diharapkan seluruh
penjuru dunia. Terbanglah, nikmati dunia yang telah Tuhan siapkan dan
temukanlah pasangan. Kelak jika kau mempunyai anak maka tanamkanlah nilai yang
sama seperti milikmu. Dengan kamu terbang, maka memperkecil kemungkinan kita
dalam kepunahan, dan sebarkanlah pada dunia bahwa kita belum punah seperti yang
diberitakan. Perkenalkanlah pada dunia bahwa kita adalah Elang flores
(spizaetus floris) dan kita belum punah.”
Malam
itu, detik dimana untuk pertama kali aku mengetahui identitasku, aku memutuskan
untuk melawan ketakutan terbesarku. Ya, ibu benar, aku tidak terbang bukan
semata-mata karna ingin menjadi yang diluar kebiasaan, namun dipundakku
tersematkan pesan yang sangat besar. Pesan kepada penjuru dunia bahwa diriku
masih memiliki kesempatan untuk diperkenalkan oleh anak cucu bahkan cicit
kalian. Pun aku tidak dapat menjaga diriku sendiri, aku harap kalian yang
naytanya memiliki kemampuan untuk berfikir banyak dapat membantu langkahku. Bantulah
aku dalam menjaga lingkungan ini. Dengan begitu, kau dan juga aku dapat
sama-sama menjalankan titah yang telah Tuhan sematkan. Jika suatu hari kalian melihatku terbang diatas atau kalian melihatku bertengger disalah satu ranting taman dekat rumah kalian, Selamat! setidaknya kalianlah penerima pesan yang ibuku titipkan.
|
(Spizaetus floris) sumber : google |
Posted for project writing #IWritetoInspire #14daysofnspiration #2ndday:Courage(keberanian)