Rabu, 10 Juli 2013

Bangunan Kepercayaan



“aku tetap ke kampus besok yah. Ada yang harus aku ambil untuk ujian tengah semester ku. Iya besok memang tanggal 25 Desember, tapi di kampus ku tidak cuti bersama” ujar aku mencoba menjelaskan dengan nafas yang (semoga terdengar) tenang.
Tak lama selesai aku menjelaskan apa yang akan kulakukan besok dan alasana apa yang mengharuskan aku pergi besok, ayah memberikanku uang saku. Malamnya ah bahkan aku tidak dapat tidur setenang biasanya, diotakku terisi penuh rencana indah yang akan aku lakukan besok dengan orang yang telah kutambatkan janji dari jauh-jauh hari. Ya, mungkin kalian bisa menebak bahwa alasan mau kekampus untuk mengambil sesuatu hanyalah alasan mengada-ngada yang aku ciptakan agar lencar perizinan keluar dari mulut ayah. 
“Ah apa salahnya berbohong sedikit? Toh kalau tidak begini aku tidak akan menepati janjiku. Nng, tak apalah. Tak akan tercipta juga kebohongan baru setelahnya. Ayah pasti percaya dengan kata-kataku tadi.” Kata ku dalam hati, mencoba untuk menenangkan.
***
“haaai! Akhirnya sampai juga, ish tadi hampir aja aku salah turun bis. Untung kau kasih kabar secepat tadi, kalau tidak? Wuuf bisa kelewat jauh tuh. Oke, kita mau kemana hari ini?” itulah kata-kata pertama yang meluncur ketika ku lihat temanku disana.
“mmm, kita jelajah sejarah yuk hari ini. Jangan cuma jalan-jalan biasa aja, tapi harus yang berbobot! Museum atau tempat bersejarah didekat sini Cuma ada kota tua. Kau mau kesana?”
Setelah perbincangan awal yang aku dan temanku lakukan akhirnya kita mengambil keputusan untuk pergi ke kota tua, terdengar biasa sih tapi ya Cuma tempat itu yang paling mungkin dijangkau. Aku dan temanku menghabiskan waktu berdua, mengukur jelas panjang jalanan ibu kota, berperang singit dengan debu jalan yang beterbangan, mengutuk habis teriknya matahari silau, dan tanpa terasa jam berganti jam sorepun menghampiri.
“kamu izinnya gimana sama orang tua? Langsung dibolehin untuk jalan bareng aku hari ini?” akhirnya pertanyaan yang dari awal tidak aku harapkan sempurna keluar tanpa ragu. “Sial! Kau bilang apa tadi malam? Tidak akan tercipta lagi kebohongan baru setelahnya? Si bodoh! Kata siapa? Buktinya 2 detik setelah ini kau akan menciptakan kebohongan kedua. Ah!” bentak ku dalam hati untuk diri sendiri.

“ohh izin ya tinggal izin ajah. He he, tinggal bilang mau pergi sama temen.” Hhh kebohongan kedua terutai dengan gagapnya.

Aku dan dia memutuskan untuk pulang, karna langit sore sudah mulai menggantung penuh keyakinan. Selama perjalanan pulang kita berdua sama-sama menceritakan tentang peluh yang menetes hari ini, air mata yang menetes di hari lalu, dan darah yang akan menetes di hari esok. Perjalanan sangat berbobot. Tak lama kedamaian itu menyelimuti bis yang kita tumpangi, akhirnya datang sesuatu yang sangat amat paling tidak aku harapkan. Handphone berdering dengan lincahnya. Kupejamkan mataku sejenak sambil berbisik “Semoga bukan ayah”. Tapi bisikanku terlalu pelan, keluar lalu ditabrak bis yang berbeda haluan. Ternyata nama ayah yang tertera saat handphone ku bordering. Aku gentar, tanganku gemetar.

“ngg, halo yah? Ada apa?”
“kamu dimana?”
“ohh aku udah di bis yah.. udah perjalanan pulang” – hei aku tak berbohong di kalimat ini kan?
“sudah di daerah mana?”
“mmm, ini diiii slipi yah. Iya udah di slipi. Sebentar lagi juga aku sampai rumah” – hhh, kebohongan ketiga.
“slipi? Oh ayah juga lagi di jalan pulang dari kantor. Dan ayah juga di daerah slipi. Kamu turun aja dari bis”
“hah? Ayah di slipi? Nngg… mm yah ayah duluan aja, aku udah bayar ongkos. Sayang kalo turun disini” – si bodoh yang satu ini memang amatiran dalam berbohong! Bagaimana bisa dia menjawab dengan sangat gagap dan kaku seperti itu? Orang tunanetra pun tahu kalau nada bicara seperti itu adalah nada bicara orang yang sedang ketakutan dan menyimpan kebohongan. Ah bodoh!
“oh yaudah” 

Ayah hanya berucap dua kata sebagai penutup dan aku sangat yakin kalau ayah mengetahui kalau anaknya yang satu ini sedang tidak jujur dengan perkataannya. Seketika aku ketakutan, duduk menjadi gelisah dan pikiran mulai meliar nelangsa.

“tadi ayah?”
Pertanyaan itu mebuyarkan lamunan dalam pikiranku.
“iya” – aku jawab seadanya.
“kenapa kamu bilang kalau bis kita di slipi? Kan bis kita lagi di daerah grogol. Kamu, berbohong sama ayah mu?” 

Aku tak menjawab. Aku masih sibuk menenangkan hati dan pikiranku. Ah bagaimana pula temanku ini? Masih saja menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya? Sudah sudah aku benar-benar yakin bahwa ayah pasti tahu kalau tadi aku berbohong. Dan ah apa yang harus aku katakan setibanya dirumah nanti? Dan apa yang akan ayah lakukan? Sudah pasti aku akan mengakui kesalahan ku dan meminta maaf atas kebodohan yang telah aku perbuat. 
Diperjalanan yang awalnya penuh dengan percakapan, sekarang penuh dengan keheningan. Aku memilih untuk menyandarkan kepalaku pada kursi penumpang yang tepat ada di depan. Turun bis, lanjut naik angkot sampai perjalanan kaki ku sampai rumah masih sibuk otak ku menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya dan otak ku sibuh menyusun kata apa yang harus aku ucapkan pada ayah?
Setibanya dirumah, kuliah ayah sedang berada di teras belakang. Seperti biasa dia sedang melihat barang kesayangan miliknya. Aku tak kuat ingin mengucapkan permohonan maaf ini, tapi seolah kakiku berat dalam melangkah.

“ayah, maafin aku. Maaf karna udah ngebohongin ayah tadi. Aku gak tau lagi harus bilang apa sekarng yah, mohon maafkan kesalahan terbesarku.” Aku tak kuasa menahan tangis. Seketika air mataku berurai tanpa dapat di halau. Aku menciumi tangan ayah dan ayah hanya diam. Kediaman sungguh sangat membunuhku, sangat.

Lama aku terisak di pangkuannya, lalu kurasakan tangan ayah mulai membelai lembut rambutku. 

“nak bangunlah, duduk disampingku. Kau lihat rumah tetangga kita yang sedang dibangun itu? Sudah sejak 2 bulan lalu di bangun namun belum juga selesai sampai sekarang. Kepercayaan itu ibarat sebuah bangunan. Setiap hari bertambah satu per satu batu batanya, direkatkan dengan semen agar dapat berdiri tegak nantinya. Sang pemilik bangunan itu mengerahkan segala yang dia punya dengan susah payah. Di bangunan itu tidak hanya terkandung batu dan semen namun juga terkandung air mata, keringat bahkan darah di dalamnya. Ada hal yang dapat menghancurkan bangunan itu secara seketika, iya hal itu adalah gempa. Kalau kepercayaan itu ibarat bangunan, maka kebohongan itu ibarat gempa yang dengan seketika dapat menghancurkan bangunan yang dibangun dengan susah payah. 

Ayah selalu alergi dengan kebohongan, dan selalu berusaha untuk berteman baik dengan kejujuran. Ketahuilah nak, ayah sudah sangat hafal bau kebohongan, sudah kenal bentul rasa kekecewaan karna hancurnya kepercayaan dan sudah sangat terbiasa dengan penghianatan. Ayah sudah sangat familiar dengan rasa sakit itu. Prinsip yang ayah miliki dari dulu hingga sekarang adalah tidak akan melakukan hal yang tidak ayah sukai kepada orang lain, karna boleh jadi mereka pun tak suka diperlakukan seperti itu. Tidak ada manusia yang suka dibohongi, karna nyatanya mereka sangat tahu seberapa lelah dan susahnya membangun bangunan kepercayaan.

Jangan biasakan berbohong, karna dengan berbohong kamu sama saja seperti gempa yang tidak diinginkan atau bahkan diharapkan. Ambilah pelajaran dari pengalaman yang kamu dapatkan sekarang. Ayah tidak marah padamu sayang, karna ayah rasa kau butuh merasakan sendiri bagaimana risihnya berbohong dan bagaimana rindunya untuk berkata jujur. Sudah terlalu banyak manusia yang memupuk kebohongan di jaman sekarang nak, karna kebanyakan mereka tidak mengetahui bagaimana susahnya membangun kepercayaan. Ah bagaimana mereka mau membangun keparcayaan? Mungkin malah mereka sudah menganggap bahwa semua manusia pasti berbohong dalam setiap tingkah lakunya. Bumi ini sudah teramat gersang nak, dan ayah harap kau dapat menjadi setitik air yang menyejukkan. Setidaknya dengan adanya kamu, Tuhan jadi tidak terus menerus menyesal karna telah menciptakan kejujuran.” 

Ayah memeluk ku erat, dia mengecup keningku dan memberikan senyum terbaiknya untukku. Ayah, terima kasih. Kelak tidak akan ku kembang biak-kan kebohongan yang akan menghancurkan kepercayaan. Sungguh ayah, aku bersungguh-sungguh dengan ucapan ku.
***
Terispirasi dari ayah saya, Muhamad Yusuf sang pemupuk kejujuran dan pembenci kebohongan. kusisipkan prinsipmu dan prinsipku dalam tulisan ini. Dad, I learn many things from you and You're my biggest inspiration in my life, ever.  

Posted for project writing #IWritetoInspire #14daysofnspiration #1stDay:Trust(Kepercayaan)
separador

3 komentar:

Uni Dzalika mengatakan...

two thumbs up, sany! :')

Insany Camilia Kamil mengatakan...

@Uni Dzalika : wow, thank you so much uneeeh! :D

Putra Zaman mengatakan...

eight thumbs up, sany!

Posting Komentar