“aku
tetap ke kampus besok yah. Ada yang harus aku ambil untuk ujian tengah semester
ku. Iya besok memang tanggal 25 Desember, tapi di kampus ku tidak cuti bersama”
ujar aku mencoba menjelaskan dengan nafas yang (semoga terdengar) tenang.
Tak
lama selesai aku menjelaskan apa yang akan kulakukan besok dan alasana apa yang
mengharuskan aku pergi besok, ayah memberikanku uang saku. Malamnya ah bahkan
aku tidak dapat tidur setenang biasanya, diotakku terisi penuh rencana indah
yang akan aku lakukan besok dengan orang yang telah kutambatkan janji dari
jauh-jauh hari. Ya, mungkin kalian bisa menebak bahwa alasan mau kekampus untuk
mengambil sesuatu hanyalah alasan mengada-ngada yang aku ciptakan agar lencar
perizinan keluar dari mulut ayah.
“Ah
apa salahnya berbohong sedikit? Toh kalau tidak begini aku tidak akan menepati
janjiku. Nng, tak apalah. Tak akan tercipta juga kebohongan baru setelahnya. Ayah
pasti percaya dengan kata-kataku tadi.” Kata ku dalam hati, mencoba untuk
menenangkan.
***
“haaai!
Akhirnya sampai juga, ish tadi hampir aja aku salah turun bis. Untung kau kasih
kabar secepat tadi, kalau tidak? Wuuf bisa kelewat jauh tuh. Oke, kita mau
kemana hari ini?” itulah kata-kata pertama yang meluncur ketika ku lihat
temanku disana.
“mmm,
kita jelajah sejarah yuk hari ini. Jangan cuma jalan-jalan biasa aja, tapi
harus yang berbobot! Museum atau tempat bersejarah didekat sini Cuma ada kota
tua. Kau mau kesana?”
Setelah
perbincangan awal yang aku dan temanku lakukan akhirnya kita mengambil
keputusan untuk pergi ke kota tua, terdengar biasa sih tapi ya Cuma tempat itu
yang paling mungkin dijangkau. Aku dan temanku menghabiskan waktu berdua,
mengukur jelas panjang jalanan ibu kota, berperang singit dengan debu jalan
yang beterbangan, mengutuk habis teriknya matahari silau, dan tanpa terasa jam
berganti jam sorepun menghampiri.
“kamu
izinnya gimana sama orang tua? Langsung dibolehin untuk jalan bareng aku hari
ini?” akhirnya pertanyaan yang dari awal tidak aku harapkan sempurna keluar
tanpa ragu. “Sial! Kau bilang apa tadi malam? Tidak akan tercipta lagi
kebohongan baru setelahnya? Si bodoh! Kata siapa? Buktinya 2 detik setelah ini
kau akan menciptakan kebohongan kedua. Ah!” bentak ku dalam hati untuk diri
sendiri.
“ohh
izin ya tinggal izin ajah. He he, tinggal bilang mau pergi sama temen.” Hhh kebohongan
kedua terutai dengan gagapnya.
Aku
dan dia memutuskan untuk pulang, karna langit sore sudah mulai menggantung
penuh keyakinan. Selama perjalanan pulang kita berdua sama-sama menceritakan
tentang peluh yang menetes hari ini, air mata yang menetes di hari lalu, dan
darah yang akan menetes di hari esok. Perjalanan sangat berbobot. Tak lama
kedamaian itu menyelimuti bis yang kita tumpangi, akhirnya datang sesuatu yang
sangat amat paling tidak aku harapkan. Handphone
berdering dengan lincahnya. Kupejamkan mataku sejenak sambil berbisik “Semoga
bukan ayah”. Tapi bisikanku terlalu pelan, keluar lalu ditabrak bis yang
berbeda haluan. Ternyata nama ayah yang tertera saat handphone ku bordering. Aku
gentar, tanganku gemetar.
“ngg,
halo yah? Ada apa?”
“kamu
dimana?”
“ohh
aku udah di bis yah.. udah perjalanan pulang” – hei aku tak berbohong di
kalimat ini kan?
“sudah
di daerah mana?”
“mmm,
ini diiii slipi yah. Iya udah di slipi. Sebentar lagi juga aku sampai rumah” –
hhh, kebohongan ketiga.
“slipi?
Oh ayah juga lagi di jalan pulang dari kantor. Dan ayah juga di daerah slipi. Kamu
turun aja dari bis”
“hah?
Ayah di slipi? Nngg… mm yah ayah duluan aja, aku udah bayar ongkos. Sayang kalo
turun disini” – si bodoh yang satu ini memang amatiran dalam berbohong! Bagaimana
bisa dia menjawab dengan sangat gagap dan kaku seperti itu? Orang tunanetra pun
tahu kalau nada bicara seperti itu adalah nada bicara orang yang sedang
ketakutan dan menyimpan kebohongan. Ah bodoh!
“oh
yaudah”
Ayah
hanya berucap dua kata sebagai penutup dan aku sangat yakin kalau ayah
mengetahui kalau anaknya yang satu ini sedang tidak jujur dengan perkataannya. Seketika
aku ketakutan, duduk menjadi gelisah dan pikiran mulai meliar nelangsa.
“tadi
ayah?”
Pertanyaan
itu mebuyarkan lamunan dalam pikiranku.
“iya”
– aku jawab seadanya.
“kenapa
kamu bilang kalau bis kita di slipi? Kan bis kita lagi di daerah grogol. Kamu,
berbohong sama ayah mu?”
Aku
tak menjawab. Aku masih sibuk menenangkan hati dan pikiranku. Ah bagaimana pula
temanku ini? Masih saja menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya? Sudah
sudah aku benar-benar yakin bahwa ayah pasti tahu kalau tadi aku berbohong. Dan
ah apa yang harus aku katakan setibanya dirumah nanti? Dan apa yang akan ayah
lakukan? Sudah pasti aku akan mengakui kesalahan ku dan meminta maaf atas
kebodohan yang telah aku perbuat.
Diperjalanan
yang awalnya penuh dengan percakapan, sekarang penuh dengan keheningan. Aku memilih
untuk menyandarkan kepalaku pada kursi penumpang yang tepat ada di depan. Turun
bis, lanjut naik angkot sampai perjalanan kaki ku sampai rumah masih sibuk otak
ku menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya dan otak ku sibuh menyusun
kata apa yang harus aku ucapkan pada ayah?
Setibanya
dirumah, kuliah ayah sedang berada di teras belakang. Seperti biasa dia sedang
melihat barang kesayangan miliknya. Aku tak kuat ingin mengucapkan permohonan
maaf ini, tapi seolah kakiku berat dalam melangkah.
“ayah,
maafin aku. Maaf karna udah ngebohongin ayah tadi. Aku gak tau lagi harus
bilang apa sekarng yah, mohon maafkan kesalahan terbesarku.” Aku tak kuasa
menahan tangis. Seketika air mataku berurai tanpa dapat di halau. Aku menciumi
tangan ayah dan ayah hanya diam. Kediaman sungguh sangat membunuhku, sangat.
Lama
aku terisak di pangkuannya, lalu kurasakan tangan ayah mulai membelai lembut
rambutku.
“nak
bangunlah, duduk disampingku. Kau lihat rumah tetangga kita yang sedang
dibangun itu? Sudah sejak 2 bulan lalu di bangun namun belum juga selesai
sampai sekarang. Kepercayaan itu ibarat sebuah bangunan. Setiap hari bertambah
satu per satu batu batanya, direkatkan dengan semen agar dapat berdiri tegak
nantinya. Sang pemilik bangunan itu mengerahkan segala yang dia punya dengan
susah payah. Di bangunan itu tidak hanya terkandung batu dan semen namun juga
terkandung air mata, keringat bahkan darah di dalamnya. Ada hal yang dapat
menghancurkan bangunan itu secara seketika, iya hal itu adalah gempa. Kalau kepercayaan
itu ibarat bangunan, maka kebohongan itu ibarat gempa yang dengan seketika
dapat menghancurkan bangunan yang dibangun dengan susah payah.
Ayah
selalu alergi dengan kebohongan, dan selalu berusaha untuk berteman baik dengan
kejujuran. Ketahuilah nak, ayah sudah sangat hafal bau kebohongan, sudah kenal
bentul rasa kekecewaan karna hancurnya kepercayaan dan sudah sangat terbiasa
dengan penghianatan. Ayah sudah sangat familiar dengan rasa sakit itu. Prinsip yang
ayah miliki dari dulu hingga sekarang adalah tidak akan melakukan hal yang
tidak ayah sukai kepada orang lain, karna boleh jadi mereka pun tak suka
diperlakukan seperti itu. Tidak ada manusia yang suka dibohongi, karna nyatanya
mereka sangat tahu seberapa lelah dan susahnya membangun bangunan kepercayaan.
Jangan
biasakan berbohong, karna dengan berbohong kamu sama saja seperti gempa yang
tidak diinginkan atau bahkan diharapkan. Ambilah pelajaran dari pengalaman yang
kamu dapatkan sekarang. Ayah tidak marah padamu sayang, karna ayah rasa kau
butuh merasakan sendiri bagaimana risihnya berbohong dan bagaimana rindunya
untuk berkata jujur. Sudah terlalu banyak manusia yang memupuk kebohongan di
jaman sekarang nak, karna kebanyakan mereka tidak mengetahui bagaimana susahnya
membangun kepercayaan. Ah bagaimana mereka mau membangun keparcayaan? Mungkin malah
mereka sudah menganggap bahwa semua manusia pasti berbohong dalam setiap
tingkah lakunya. Bumi ini sudah teramat gersang nak, dan ayah harap kau dapat
menjadi setitik air yang menyejukkan. Setidaknya dengan adanya kamu, Tuhan jadi
tidak terus menerus menyesal karna telah menciptakan kejujuran.”
Ayah
memeluk ku erat, dia mengecup keningku dan memberikan senyum terbaiknya
untukku. Ayah, terima kasih. Kelak tidak akan ku kembang biak-kan kebohongan
yang akan menghancurkan kepercayaan. Sungguh ayah, aku bersungguh-sungguh
dengan ucapan ku.
***
Terispirasi dari ayah saya, Muhamad Yusuf sang pemupuk kejujuran dan pembenci kebohongan. kusisipkan prinsipmu dan prinsipku dalam tulisan ini. Dad, I learn many things from you and You're my biggest inspiration in my life, ever.
Posted for project writing #IWritetoInspire #14daysofnspiration #1stDay:Trust(Kepercayaan)
3 komentar:
two thumbs up, sany! :')
@Uni Dzalika : wow, thank you so much uneeeh! :D
eight thumbs up, sany!
Posting Komentar