Kamis, 11 Juli 2013

Api Keberanian



Matahari sangat bersinar terik siang itu, tepat berada diatas ubun-ubun dan menyengat masuk langsung ke kepala. Ya, siang itu adalah kali pertamannya aku menekan keras tubuhku keatas demi terpecahnya lapisan cangkang yang selama ini membatasi ruang gerak ku. Aku sudah merasa harus keluar siang itu, tak betah ku harus berlama-lama membenamkan kepalaku dalam ruang sesak bernama membran. Kurasakan getaran hebat tepat disebelahku, oh mungkin dia saudaraku. Sial kecurian start dengannya!

“KREEKz”

Huuuh lega rasanya menghirup udara bebas seperti ini, ketika ku mulai menghancurkan satu bagian dari cangkangku terlihat jelas sosok besar dan gagah di depan. Dia mengepakkan kedua sayapnya yang lebar demi menghalau teriknya sinar. Ku lihat dia tersenyum, bahkan dapat terlihat jelas dia menangis terharu ketika melihatku dan saudaraku keluar satu per satu. Hey! Aku tahu kalian manusia, percayalah kami juga dapat tertawa, tersenyum, menangis bahkan berdo’a seperti kalian. Kalian kira hanya kalian saja yang dapat melakukan semua itu? Kami pun juga. Oke ku lanjutkan, setelah aku dan kedua saudaraku terlepas dari cangkang menyulitkan itu, sosok besar dan gagah itu mendekap hangat. Bulu-bulunya terlihat kasar di luar tapi ternyata sangat halus di bagian dalam, dia membisikkan pada kita satu kalimat pertama yang sangat menggetarkan telinga.

“selamat datang di dunia yang sangat indah ini anakku, sungguh seluruh dunia sangat menanti kehadiran kalian sejak lama” – ibu, ternyata sosok yang ada di depan kami adalah ibu. Dia bisikkan lirih kalimat itu seraya memeluk erat kami.
***
 
Hari berganti hari, malam berganti malam, tubuh ku dan kedua saudaraku semakin tumbuh besar. Sesekali ibu berpamitan pergi untuk mencarikan kami makanan, sesekali ibu memercikkan air untuk memandikan kami. Aku adalah anak yang paling terakhir keluar dari cangkang, jadi aku dalah anak mmh kalian menyebutnya apa? Anak bungsu? Atau anak bontot? Ya, apapun kalian menyebutnya yang jelas aku adalah anak terakhir di keluarga.

“ibu kemana?” – kalimat pertamaku ketika membuka mata pagi itu.
“cari makan buat kita laah. Hey lihat kita sudah dapat berdiri dan mengepakkan sayap. Kau bisa juga tidak?” 

Cih ternyata kedua saudara ku itu sedang memamerkan diri, “ini kan masih pagi” gumamku dalam hati.

“aku bisa, tapi kalau sekarang aku tak mau. Lebih baik berkemul dibalik selimutku dibanding memamerkan hal sepele itu. Setiap kita kan pasti bisa berdiri dan mengepakkan sayap.” – jawabku sekenanya.

Pffft kenapa meraka selalu seperti itu terhadapku? Apa karna aku anak bungsu? Hey ini untuk kalian juga yang membaca, camkan kata-kataku yang satu ini. Tidak selamanya anak bungsu itu manja, bahkan boleh jadi kelak dia akan tumbuh lebih dewasa dari yang kalian kira. 

Sempat aku berfikir apa hebatnya menjadi aku? Menjadi burung biasa yang masih belum punya keinginan untuk terbang. Burung memang seharusnya terbang, tapi kalau aku juga terbang apa bedanya dangan burung-burung yang lain? Sama saja. Biasa saja. Ingin menjadi yang diluar dari kebiasaan? Ya berkeputusan untuk tidak terbang mungkin bisa menjadi salah satu pilihan.

Kedua saudaraku sudah melalang buana di sekitaran rumah, aku? Masih disini saja ha ha. 

“kemarin aku hinggap di salah satu jendela rumah di seberang hutan sana, dan kulihat pemiliknya sedang menonton sebuah tanyangan. Aku melihat seseorang yang mirip dengan kita. Tapi dia sedang mencabik-cabik bangkai yang tergeletak. Terdengar juga bahwa ternyata kita adalah salah satu species raptor (burung pemangsa) dan eerghh memang terlihat jelas di tanyangan itu. Ah andai kalian juga melihat, mungkin akan mengutuk diri kalian sendiri.” – ulasan cerita salah satu saudaraku setelah dia berkeliling memutar. 
 ***

Cerita salah satu sadaraku sangat terngiang sampai malam. Aku gelisah. Tidur pun menjadi resah. Tetap tidak terima jika ternyata aku adalah salah satu makhluk yang boleh jadi sangat dimusuhi karna cap keganasan yang terlanjur disematkan.

“nak, sudah tidurkah kamu? Apakah udara mala mini terlalu panas sampai membuatmu tak nyaman seperti itu?” – teguran ibu membuyarkan lamunanku.

Aku berbalik dan kulihat wajah ibu, iya dari garis mukanya dia sangat kuat tapi andai saja kalian bisa melihat lebih jelas pada matanya, ah bahkan kelembutan tatapan mata ibu melebihi lembut bulu-bulunya.

“ibu, buat apa kita hidup jika untuk mengakhiri hidup orang lain? Buat apa kita diciptakan jika hanya untuk menghilangkan ciptaan yang lain? Buat apa kita memiliki kekuatan jika hanya untuk meremukkan kekuatan yang lain?” – kalian tahu? Aku sudah tidak tahan menahan tanda Tanya besar dalam pikiran ku sendirian. Setidaknya jika kutanyakan pada ibu, aku bisa berbagi tanda Tanya dengannya.

Ibu tersenyum. Menggeserkan tubuhku untuk mendekat padanya. 

“pertanyaan yang sangat bagus dan indah anakku. Ibu saja tidak pernah membayangkan kau akan melontarkan pertanyaan itu pada ibu. Tapi baiklah akan ibu jawab pertanyaanmu sebisaku. Anakku, di dalam kehidupan ini akan selalu ada pertanyaan yang perlu dijawab secara gamblang. Didalam kehidupan ini terdapat roda besar ekosistem yang tidak dapat dihentikan. Kita hidup bukan untuk mengakhiri hidup orang lain, tapi akan terdapat titah Tuhan yang telah Dia sematkan pada diri kita masing-masing. Kalaulah jiwa-jiwa lama harus pergi, maka akan selalu ada jiwa-jiwa baru yang mengganti. Itu janji Tuhan nak dan Tuhan tidak akan mengingkari setiap janji yang Dia lontarkan.

Anakku, dalam titah yang telah Tuhan sematkan selalu terkandung kekuatan didalamnya. Setiap kita telah disisipkan modal keberanian olehNya, dan sekarang tugas kita adalah terus meningkatkan keberanian agar terkikisnya kegelisahan dan ketakutan pada sesuatu hal yang tidak perlu. 

Sekarang ibu ingin meminta pertolongan darimu, maukah kau membantu ibu?”

Aku meng-iya-kan dengan sangat yakin. Bagaimana mungkin aku menolak menolong ibu yang telah berkorban banyak untukku?

“nak, sekarang ibu titipkan lentera kecil yang didalamnya terdapat api. Ibu minta kau untuk menjaga agar apinya terus menyala, karna jika api itu mati maka seluruh dunia menjadi gelap gulita. Gelap dan terangnya dunia ini tergantung oleh api yang ada didalam lentara milikmu. Lalu, apa yang dapat kamu lakukan untuk mempertahankan api itu?”

Aku diam sejenak, memikirkan dalam tentang hal yang akan aku lakukan. Hey, sekarang bagaimana dunia tergantung oleh keputusanku. Bagaimana mungkin aku tidak berfikir keras untuk itu?

“aku akan menjaga api dalam lentera itu bu, dengan cara aku akan senantiasa memberikan bahan bakar agar tak kering dan mati apinya. Atau kalau perlu sesekali akan aku teteskan beberapa minyak di sumbunya. Ya, aku rasa itu akan menjaga agar apinya tetap menyala” – jawabku yakin.

Ibu membelai halus kepalaku.

“ada yang perlu kau ketahui nak, jika kau melakukan itu setiap menit yang ada api itu tidak akan ragu untuk membakarmu hidup-hidup. Berlakulah sewajarnya, jangan berlebihan menjaga tapi jangan terlalu cuek juga terhadapnya.

Api itu seperti keberanian nak, keberanian itu sangat perlu dipupuk namun jangan berlebihan dari batas yang telah ditentukan. Karna jika keberanian berkembang pesat tak tertahankan, mungkin bisa saja kau jadi berani melawan titah yang telah Tuhan sematkan padamu. Seperti halnya api yang di teteskan minyak secara berlebihan, keberanian yang terlalu berlebihan kelak juga dapat menghancurkan dirimu sendiri.

Mulai sekarang, cobalah lawan ketakutan terbesarmu untuk terbang dengan keberanian yang berapi-api. Karna sungguh nak, kepakkan sayapmu sangat diharapkan seluruh penjuru dunia. Terbanglah, nikmati dunia yang telah Tuhan siapkan dan temukanlah pasangan. Kelak jika kau mempunyai anak maka tanamkanlah nilai yang sama seperti milikmu. Dengan kamu terbang, maka memperkecil kemungkinan kita dalam kepunahan, dan sebarkanlah pada dunia bahwa kita belum punah seperti yang diberitakan. Perkenalkanlah pada dunia bahwa kita adalah Elang flores (spizaetus floris) dan kita belum punah.” 

Malam itu, detik dimana untuk pertama kali aku mengetahui identitasku, aku memutuskan untuk melawan ketakutan terbesarku. Ya, ibu benar, aku tidak terbang bukan semata-mata karna ingin menjadi yang diluar kebiasaan, namun dipundakku tersematkan pesan yang sangat besar. Pesan kepada penjuru dunia bahwa diriku masih memiliki kesempatan untuk diperkenalkan oleh anak cucu bahkan cicit kalian. Pun aku tidak dapat menjaga diriku sendiri, aku harap kalian yang naytanya memiliki kemampuan untuk berfikir banyak dapat membantu langkahku. Bantulah aku dalam menjaga lingkungan ini. Dengan begitu, kau dan juga aku dapat sama-sama menjalankan titah yang telah Tuhan sematkan. Jika suatu hari kalian melihatku terbang diatas atau kalian melihatku bertengger disalah satu ranting taman dekat rumah kalian, Selamat! setidaknya kalianlah penerima pesan yang ibuku titipkan. 
(Spizaetus floris) sumber : google
 Posted for project writing #IWritetoInspire #14daysofnspiration #2ndday:Courage(keberanian)

separador

1 komentar:

Putra Zaman mengatakan...

keren, unik ini perspektifnya ("-")9

Posting Komentar