Terbaring lemah aku di atas
kasur tua dalam kamar ukuran 3x3 m kepunyaanku, mungkin bagi sebagian
teman-temanku ini tak layak disebut kamar tapi lebih tepatnya ini adalah
gudang. Iya kadang aku pun berfikir seperti itu, kala mata ku menangkap
semua barang yang tak beraturan dalam ruang ini. Terselamatkanlah ini
disebut kamar hanya oleh sebab ada
kasur tua yang menipis tiap tahunnya "menghiasi" sudut ruangan ini.
Disini
sunyi, sangaat sunyi yang terdengar dalam jangkauan telingaku hanya
suara detik yang dikeluarkan oleh jam dinding. Malam yang kian melahap
sinar, menandakan hampir tengah
malam dan aku masih terjaga.
Terjaga
untuk menanti kepergian orang yang selama ini menjadi pemasung
kehidupanku, Ayah. Dalam domain waktu yang kebanyakan orang menjadi
waktu untuk beristirahat tapi menjadi waktu mulai bekerja ayahku. Masih
terpejam mata ini, dan dia mulai membuka pintu "reot" kamarku. "Nak, aku
berangkat yaa..". sebelum langkah dia mendekat kearah pintu ku, bau
menyengat parfum menyergap hidungku.
Ayahku cukup tampan, bahkan di usianya yang mendekati setengah abad. Posturnya cukup tinggi dengan perawakan yang tegap meski tak kekar. Dengan senyum yang selalu terpatri di bibirnya, dia selalu nampak lebih muda sepuluh tahun dari usia sebenarnya.
Ayahku cukup tampan, bahkan di usianya yang mendekati setengah abad. Posturnya cukup tinggi dengan perawakan yang tegap meski tak kekar. Dengan senyum yang selalu terpatri di bibirnya, dia selalu nampak lebih muda sepuluh tahun dari usia sebenarnya.
Pria
itu mengecup dahiku lembut. Rambut brunet bergelombangnya memburai di
wajahku. Bibir bergincu merah terangnya berjinjit. Dua kelopaknya
berpesta, dengan saputan hijau dan merah kecoklatan, dibatasi garis
hitam tebal dan bulu mata nan lentik. Pipinya merona. Jemarinya
membenahi kembennya.
"Ayah,
sebentar," panggilku. Lantas beranjak dari ranjang susah payah,
menyisir riap rambut yang jatuh di dahinya. "Wig ayah masih berantakan."
Pria itu hanya mengulum senyum kala aku selesai membenahi penampilannya. "Ayah sudah cantik kan?"
Aku mengangguk.
"Sudah ya, ayah pergi dulu. Doakan hari ini ayah dapet customer, nak," pamitnya, membelai rambutku.
Aku tidak menjawabnya. Beliau pun tidak ingin tahu jawabanku. Pria itu berlalu, dan yang
terdengar kemudian adalah decit pintu dan suara kunci yang diputar. Aku sendiri.
Ya, ayahku adalah seorang transgender.
Suyinya
malam menggemakan suara langkah heels ayah yang beradu dengan aspal
dingin. Aku melemaskan persendian kaki ku
dan menjadikan tembok lusuh rumahku menjadi sandarannya, pada saatsaat
seperti ini yang selalu bergeming dalam benakku adalah kata-kata "Andai
mama masih ada". 1 susunan kalimat itu sempurna memacu gambar khayalan
tantang apa yang akan terjadi bila sosok mama tidak lenyap pada timbunan
tanah sore itu.
Usiaku tidak remaja lagi, usiaku menginjak 20 tahun dan tepat besok aku harus menanggalkan usia 20 tahun demi tercetaknya usia baru yang bertambah besar jumlahnya namun berkurang porsi "jatah" hidupnya. Entah sudah berapa kali ulangtahun yang kulewatkan sendiri tanpa ada sosok ayah sekaligus mama disekitaranku. Mungkin dia lupa, atau mungkin ingatan akan ulang tahunku tertimbun dalam tebalnya bedak yang setiap malam dia paparkan.
Usiaku tidak remaja lagi, usiaku menginjak 20 tahun dan tepat besok aku harus menanggalkan usia 20 tahun demi tercetaknya usia baru yang bertambah besar jumlahnya namun berkurang porsi "jatah" hidupnya. Entah sudah berapa kali ulangtahun yang kulewatkan sendiri tanpa ada sosok ayah sekaligus mama disekitaranku. Mungkin dia lupa, atau mungkin ingatan akan ulang tahunku tertimbun dalam tebalnya bedak yang setiap malam dia paparkan.
Berharap pada ingatan ayah akan ulang tahun? Mungkin terlalu berlebihan.
Karena yang tersisa dari hariku adalah pagi dengan dengkuran ayah.
Kadang kala disertai dengan kekasihnya, Ari. Tak jarang aku memergoki
dua pria itu bercumbu di sofa, melenguh, berbisik
cinta, lantas berteriak. Pemandangan itu, sungguh menyulut hasratku
untuk membakar dua mataku.
Pagi, selamat ulang tahun... aku.
Mungkin tahun ini akan sama. Ah, tidak. Barang pasti tahun ini tidak akan berbeda.
Mata air yang menggenang, kuseka kasar. Tidak ada yang harus ditangisi.
Berusaha
keras untuk menerima semua kenyataan dan mengibas semua angan yang di
awali dengan kata "andai saja", setidaknya aku menjadi tahu alasan
kenapa Tuhan melarang umatnya untuk berandai-andai. karna berandai-andai
adalah sebuah hal yang membuangbuang waktu dan membuat harapan meninggi
tanpa ingat dasar.
ku jatuhkan badanku dikasur dan seketika aku terlelap.
Pagi, selamat ulang tahun... aku.
Aku
tersenyum miris pada kalender usang di kamarku. Ya, pagi tetaplah sama,
dengan cerah yang sama. Pun dengan muram yang serupa. Durja. Kutarik
nafas panjang dan menyingkirkan harapan.
Kuseret
kakiku malas untuk keluar. Namun apa yang kulihat setelah membuka pintu
adalah suatu yang berbeda. Ayahku berdiri di dapur, mengenakan celemek
masak milik ibu. Beliau berbalik ke arahku kala mendengar suara derik
pintu.
"Sudah bangun? Apa ayah membangunkanmu, nak?" tanyanya.
Aku terhenyak. Sejak kapan beliau bisa bangun pagi. "A--ah... Sudah, yah. Ayah sedang apa?"
Alih-alih
menjawab pertanyaanku, beliau menyuruhku duduk di meja makan. Aku hanya
mengerutkan dahi bingunh. Aku menurut saja dan mningglkannya sendiri di
dapur.
Tak
beberapa lama, beliau menghampiriku. Di tangannya, ia membawa hati-hati
kue tart putih sederhana. "Fian, selamat ulang tahun!"
Aku terperangah.
Ayah.
Mengingatku.
Dahi ayahku berkernyit, "Fian? Kok diem? Ditiup dong lilinnya. Kan ayah susah-susah bikinnya..."
"Ayah... bikin sendiri?" tanyaku. Menatapnya tak percaya.
"Iya
dong! Walau dibantu Bu Marni tetangga sebelah, sih... Tapi ini semua
dari tangan ayah kok!" jawabnya, menekankan bahwa kue itu memang hasil
karyanya.
Karya pertamanya.
"Sekarang, berdoa dulu dan tiup lilinnya. Ayo ayo!" rajuknya setengah memaksa.
Aku
tersenyum simpul. Kelopakku menutup, aku mengucap permohonan. Lantas
bibirku mengerucut, meniup tiap lilinnya. Dua puluh lilin kecil yang
menjulang di permukaan kuenya.
Ayahku
bertepuk tangan, kelewat heboh sejujurnya. Aku hanya tersenyum haru dan
memeluknya, erat. Sangat erat. "Makasih ya, yah..."
Beliau tidak menjawab. Hanya mengusap punggyngku lembut. Hangat.
"Nak, apa permohonanmu barusan?" tanya ayahku kala aku melepaskan rengkuhanku.
Aku
menggigit bibir bawahku. Aku tak tahu apa aku boleh mengatakannya.
Lebih tepatnya apa aku bisa mengucapkannya pada ayahku? Rasa-rasanya
tidak.
"Ayolah, Fian... Ayah kan juga ingin tahu..."
"Ayah
tidak akan marah kan kalau Fian beri tahu?" tanyaku takut. Tanpa
kusadari, jantungku telah memompa keras. Dentumannya yang kuat
menggebrak dada.
"Kenapa harus marah? Kamu ini ada-ada saja." ayahku tergelak.
"Aku ingin..." ucapanku terhenti. Ayah melihatku penasaran, hingga aku melanjutkan, "...ayah berhenti jadi pekerja malam..."
Kali ini ayahku terhenyak.
"Maksudku, ayah bisa kerja yang lain. Aku juga bisa membantu ayah, meski aku tak cukup kuat. Atau..."
Senyap,
aku merasa bersalah mengatakannya. Meski aku tak merasa salah untuk
memikirkannya. Namun, mungkin ayahku lebih nyaman dengan pekerjaannya
kini.
"Maaf, yah..." Aku tertunduk. Harusnya aku tidak menyatakannya. Harusnya kulesakkan saja pemikiran itu. Harusnya aku--
"Baiklah. Ayah akan berhenti."
Aku
menengadah. Mata kami bersirobok. Kulihat sepasang rubi di matanya,
menatapku lembut. Aku... tak tahu harus berkata apa. Kutarik beliau
dalam rengkuhku sekali lagi.
"Terima kasih, yah..." balasku, sangat lirih. Nyaris berdesis.
Rengkuhan
ayahku pagi ini sangat hangat. Menyenangkan, menenteramkan hati, pun
membuncahkan adrenalin. Hari istimewa ini, tidak ada yang bisa lebih
istimewa. Untuk pertama kalinya sejak mama meninggalkan kami.
Mungkin akulah sebab dan akibat bagi kehidupan ayah, aku yang selama ini menjadi penyebab ayah memilih pekerjaan itu dan perubahan ayah yang menjadi akibat dari permintaanku.
aku ingin
berharap...
Semoga esok menjadi hari yang jauh lebih baik bagi kami.
-fin-
"Pada dasarnya setiap orang tua pasti memberikan sema yang terbaik untuk anaknya bahkan untuk merelakan dirinya sendiri. Karna Teramat banyak bahasa orang tua yang tidak dipahami oleh anak sebelum anak itu merasakan dirinya menjadi orang tua".
by : Gladish Rindra S. (@adiezrindra) and Insany C Kamil (@Brightsunn)