Kamis, 28 Februari 2013

Akulah sebab dan akibat

Terbaring lemah aku di atas kasur tua dalam kamar ukuran 3x3 m kepunyaanku, mungkin bagi sebagian teman-temanku ini tak layak disebut kamar tapi lebih tepatnya ini adalah gudang. Iya kadang aku pun berfikir seperti itu, kala mata ku menangkap semua barang yang tak beraturan dalam ruang ini. Terselamatkanlah ini disebut kamar hanya oleh sebab ada kasur tua yang menipis tiap tahunnya "menghiasi" sudut ruangan ini.
Disini sunyi, sangaat sunyi yang terdengar dalam jangkauan telingaku hanya suara detik yang dikeluarkan oleh jam dinding. Malam yang kian melahap sinar, menandakan hampir tengah malam dan aku masih terjaga.

Terjaga untuk menanti kepergian orang yang selama ini menjadi pemasung kehidupanku, Ayah. Dalam domain waktu yang kebanyakan orang menjadi waktu untuk beristirahat tapi menjadi waktu mulai bekerja ayahku. Masih terpejam mata ini, dan dia mulai membuka pintu "reot" kamarku. "Nak, aku berangkat yaa..". sebelum langkah dia mendekat kearah pintu ku, bau menyengat parfum menyergap hidungku.

Ayahku cukup tampan, bahkan di usianya yang mendekati setengah abad. Posturnya cukup tinggi dengan perawakan yang tegap meski tak kekar. Dengan senyum yang selalu terpatri di bibirnya, dia selalu nampak lebih muda sepuluh tahun dari usia sebenarnya.

Pria itu mengecup dahiku lembut. Rambut brunet bergelombangnya memburai di wajahku. Bibir bergincu merah terangnya berjinjit. Dua kelopaknya berpesta, dengan saputan hijau dan merah kecoklatan, dibatasi garis hitam tebal dan bulu mata nan lentik. Pipinya merona. Jemarinya membenahi kembennya.

"Ayah, sebentar," panggilku. Lantas beranjak dari ranjang susah payah, menyisir riap rambut yang jatuh di dahinya. "Wig ayah masih berantakan."

Pria itu hanya mengulum senyum kala aku selesai membenahi penampilannya. "Ayah sudah cantik kan?"

Aku mengangguk.

"Sudah ya, ayah pergi dulu. Doakan hari ini ayah dapet customer, nak," pamitnya, membelai rambutku.

Aku tidak menjawabnya. Beliau pun tidak ingin tahu jawabanku. Pria itu berlalu, dan yang terdengar kemudian adalah decit pintu dan suara kunci yang diputar. Aku sendiri.

Ya, ayahku adalah seorang transgender.
Suyinya malam menggemakan suara langkah heels ayah yang beradu dengan aspal dingin. Aku melemaskan persendian kaki ku dan menjadikan tembok lusuh rumahku menjadi sandarannya, pada saatsaat seperti ini yang selalu bergeming dalam benakku adalah kata-kata "Andai mama masih ada". 1 susunan kalimat itu sempurna memacu gambar khayalan tantang apa yang akan terjadi bila sosok mama tidak lenyap pada timbunan tanah sore itu.

Usiaku tidak remaja lagi, usiaku menginjak 20 tahun dan tepat besok aku harus menanggalkan usia 20 tahun demi tercetaknya usia baru yang bertambah besar jumlahnya namun berkurang porsi "jatah" hidupnya. Entah sudah berapa kali ulangtahun yang kulewatkan sendiri tanpa ada sosok ayah sekaligus mama disekitaranku. Mungkin dia lupa, atau mungkin ingatan akan ulang tahunku tertimbun dalam tebalnya bedak yang setiap malam dia paparkan.

  
Berharap pada ingatan ayah akan ulang tahun? Mungkin terlalu berlebihan. Karena yang tersisa dari hariku adalah pagi dengan dengkuran ayah. Kadang kala disertai dengan kekasihnya, Ari. Tak jarang aku memergoki dua pria itu bercumbu di sofa, melenguh, berbisik cinta, lantas berteriak. Pemandangan itu, sungguh menyulut hasratku untuk membakar dua mataku.

Mungkin tahun ini akan sama. Ah, tidak. Barang pasti tahun ini tidak akan berbeda.
Mata air yang menggenang, kuseka kasar. Tidak ada yang harus ditangisi.
Berusaha keras untuk menerima semua kenyataan dan mengibas semua angan yang di awali dengan kata "andai saja", setidaknya aku menjadi tahu alasan kenapa Tuhan melarang umatnya untuk berandai-andai. karna berandai-andai adalah sebuah hal yang membuangbuang waktu dan membuat harapan meninggi tanpa ingat dasar.
ku jatuhkan badanku dikasur dan seketika aku terlelap.

Pagi, selamat ulang tahun... aku.

Aku tersenyum miris pada kalender usang di kamarku. Ya, pagi tetaplah sama, dengan cerah yang sama. Pun dengan muram yang serupa. Durja. Kutarik nafas panjang dan menyingkirkan harapan.

Kuseret kakiku malas untuk keluar. Namun apa yang kulihat setelah membuka pintu adalah suatu yang berbeda. Ayahku berdiri di dapur, mengenakan celemek masak milik ibu. Beliau berbalik ke arahku kala mendengar suara derik pintu.

"Sudah bangun? Apa ayah membangunkanmu, nak?" tanyanya.

Aku terhenyak. Sejak kapan beliau bisa bangun pagi. "A--ah... Sudah, yah. Ayah sedang apa?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, beliau menyuruhku duduk di meja makan. Aku hanya mengerutkan dahi bingunh. Aku menurut saja dan mningglkannya sendiri di dapur.

Tak beberapa lama, beliau menghampiriku. Di tangannya, ia membawa hati-hati kue tart putih sederhana. "Fian, selamat ulang tahun!"

Aku terperangah.

Ayah.

Mengingatku.

Dahi ayahku berkernyit, "Fian? Kok diem? Ditiup dong lilinnya. Kan ayah susah-susah bikinnya..."

"Ayah... bikin sendiri?" tanyaku. Menatapnya tak percaya.

"Iya dong! Walau dibantu Bu Marni tetangga sebelah, sih... Tapi ini semua dari tangan ayah kok!" jawabnya, menekankan bahwa kue itu memang hasil karyanya.

Karya pertamanya.

"Sekarang, berdoa dulu dan tiup lilinnya. Ayo ayo!" rajuknya setengah memaksa.

Aku tersenyum simpul. Kelopakku menutup, aku mengucap permohonan. Lantas bibirku mengerucut, meniup tiap lilinnya. Dua puluh lilin kecil yang menjulang di permukaan kuenya.

Ayahku bertepuk tangan, kelewat heboh sejujurnya. Aku hanya tersenyum haru dan memeluknya, erat. Sangat erat. "Makasih ya, yah..."

Beliau tidak menjawab. Hanya mengusap punggyngku lembut. Hangat.

"Nak, apa permohonanmu barusan?" tanya ayahku kala aku melepaskan rengkuhanku.

Aku menggigit bibir bawahku. Aku tak tahu apa aku boleh mengatakannya. Lebih tepatnya apa aku bisa mengucapkannya pada ayahku? Rasa-rasanya tidak.

"Ayolah, Fian... Ayah kan juga ingin tahu..."

"Ayah tidak akan marah kan kalau Fian beri tahu?" tanyaku takut. Tanpa kusadari, jantungku telah memompa keras. Dentumannya yang kuat menggebrak dada.

"Kenapa harus marah? Kamu ini ada-ada saja." ayahku tergelak.

"Aku ingin..." ucapanku terhenti. Ayah melihatku penasaran, hingga aku melanjutkan, "...ayah berhenti jadi pekerja malam..."

Kali ini ayahku terhenyak.

"Maksudku, ayah bisa kerja yang lain. Aku juga bisa membantu ayah, meski aku tak cukup kuat. Atau..."

Senyap, aku merasa bersalah mengatakannya. Meski aku tak merasa salah untuk memikirkannya. Namun, mungkin ayahku lebih nyaman dengan pekerjaannya kini.

"Maaf, yah..." Aku tertunduk. Harusnya aku tidak menyatakannya. Harusnya kulesakkan saja pemikiran itu. Harusnya aku--

"Baiklah. Ayah akan berhenti."

Aku menengadah. Mata kami bersirobok. Kulihat sepasang rubi di matanya, menatapku lembut. Aku... tak tahu harus berkata apa. Kutarik beliau dalam rengkuhku sekali lagi.

"Terima kasih, yah..." balasku, sangat lirih. Nyaris berdesis.

Rengkuhan ayahku pagi ini sangat hangat. Menyenangkan, menenteramkan hati, pun membuncahkan adrenalin. Hari istimewa ini, tidak ada yang bisa lebih istimewa. Untuk pertama kalinya sejak mama meninggalkan kami.
Mungkin akulah sebab dan akibat bagi kehidupan ayah, aku yang selama ini menjadi penyebab ayah memilih pekerjaan itu dan perubahan ayah yang menjadi akibat dari permintaanku.
aku ingin berharap...
Semoga esok menjadi hari yang jauh lebih baik bagi kami.

-fin-
 "Pada dasarnya setiap orang tua pasti memberikan sema yang terbaik untuk anaknya bahkan untuk merelakan dirinya sendiri. Karna Teramat banyak bahasa orang tua yang tidak dipahami oleh anak sebelum anak itu merasakan dirinya menjadi orang tua". 

Read more...
separador

Gelap dalam gelap

“Every one is a moon, and has a dark side which he never shows to anybody” - Mark Twain

Aku sedang duduk di sebuah restoran bersama beberapa teman-temanku sepulang dari kampus. Restoran ini berada di pinggir jalan raya, sehingga setiap orang yang lewat bisa kulihat dari dalam melalui dinding-dinding kaca yang bening dengan beberapa ornamen pemanisnya berupa lingkaran-lingkaran kecil berwarna-warni, sebagian besar berwarna jingga serasi dengan dinding di bagian dalamnya, juga seragam para pelayan restoran yang berwarna jingga dengan garis hijau besar di bagian samping seragam mereka. Aku perhatikan semua teman-temanku sedang berbincang sambil tertawa-tawa, kadang tawa mereka terlalu kencang sehingga membuat pengunjung lain menoleh kepada kami. Tapi aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan hingga tertawa terbahak-bahak seperti itu, pikiranku sedang tidak di sini, pikiranku mengelana jauh mengingat episode buram beberapa bulan lalu yang masih terekam jelas di ingatanku.

Episode yang mungkin bagi kebanyakan orang dianggap episode yang sangat menyenangkan, iya aku sempat sepakat dengan mereka, tapi kata sepakatku seketika memudar kala ku ingat sakit yang mungkin akan aku rasakan. Episode buram yang nyatanya tidak buram, tapi aku yang berusaha keras memburamkan episode itu. bagaimana tidak? Dengan kesadaran yang tidak seutuhnya aku menjatuhkan pilihan pada orang yang telah dipilih orang lain, aku menetapkan hati pada orang yang telah ditetapkan hatinya oleh orang lain. Rasa itu bagai dua mata pisau yang tajam untukku, hujaman caci pada diri sendiri tak jarang aku dapatkan, hantaman keras pada nurani kini tak jarang lagi aku rasakan. Sergapan banyangmu melesat cepat bahkan pada situasi malam seramai ini, tidak bisa dibayangkan bagaimana kabar malam-malamku yang diselimuti sepi, mungkin bayanganmu memenjarakan tubuh dan alam imajiku.

Aku tahu sepenuhnya bahwa rasa yang kupertahankan ini benar-benar salah di mata semua orang, terlebih bagi mereka yang selalu mengagungkan logika. Tapi sejak kapan hati dan logika sejalan? Aku terlalu takut memasang telinga mendengarkan setiap kata yang akan terucap yang mungkin tak lebih dari cacian yang bahkan akan semakin membuatku tak berdaya. Itu sebabnya aku hanya mampu menyimpan semua perasaan yang tak seharusnya kusimpan ini di sisi gelap hatiku. Tak seorangpun tahu. Tidak juga mereka yang sedang tertawa di depanku ini.

Biarlah semua orang melihat sisi paling terang dalam diriku tanpa harus mereka tahu sisi tergelap yang aku punya. renyahnya tertawa mereka malam ini pun ku balas dengan tawa, ah sebentar terlalu sadis jika ini disebut tawa karna nyatanya aku tertawa bukan karna guyonan mereka, tapi lebih tepatnya aku yang sedang menertawakan kebodohan diriku sendiri. Mencintai orang yang sudah ada yang memiliki bukannya itu namanya bunuh diri? Biarlah mereka menganggap tawaku adalah sebagai gayung bersambut atas guyonan mereka tanpa harus mereka tahu atas dasar apa aku tertawa. Kalaulah memang sisi tergelapku hanya bisa diketahui oleh sudut ruang gelap Dalam kamarku, biar. Mungkin itulah saat dimana aku merasa menjadi diriku seutuhnya tanpa harus memasang topeng jenaka seperti sekarang.

Teman-temanku semuanya sudah menyelesaikan makan sorenya, sedangkan aku yang memang tidak merasa lapar, hanya menyisakan beberapa mililiter es teh manis di gelas tinggi yang bagian tengahnya lebih ramping.
“Ayo Nay, kita pulang,” suara Dina menyadarkan aku dari lamunanku. Ternyata teman-temanku sudah siap untuk meninggalkan restoran ini.
“Tunggu sebentar,” sahutku sambil membereskan tas tanganku. Mereka sudah hendak keluar dari restoran, dan aku bergegas menyusul mereka.
“Hei Nayla!” Aku terperanjat melihat sosok yang selama ini menghantui pikiran dan hatiku itu. Kami tepat bertemu di depan pintu restoran, sedangkan teman-temanku sudah menuju mobil yang di parkir di samping restoran. Perasaanku benar-benar tercampur-aduk antara rasa senang karena melihat senyumnya yang begitu mendamaikan, bingung karena aku tak tahu harus bersikap seperti apa.

Dengan wajah yang entah seaneh apa, ah beruntungnya tidak ada cermin disekitarku karna kalau ada mungkin aku bisa lari karna ketakutan melihat anehnya wajahku sendiri. aku terdiam 1...2...3 detik dalam diamku mata kita bertemu senyuman menawan tak pernah lepas dia pasang dalam parasnya. Seketika bergeming sebuah doa "Tuhan, hentikanlah waktu sejenak. izinkan aku melalap habis senyum yang dilemparkan olehnya". Lamunanku di sadarkan dengan hentakan keras darinya "Hoy! nay, kok diem?", 1 kata yang dapat mewakilkan sikapku pada saat itu, Kikuk. Dengan kikuk aku menjawab "eh Ar, iya, aduh maaf aku kaget kenapa bisa kebetulan ketemu kamu disini. hehe, mau makan ya?". Iya iya, kebetulan. Terlalu banyak kebetulan yang menyatukan kita, kita pernah dengan secara kebetulan memasang gambar wallpaper handphone yang sama, dari ribuan wallpaper yang ada di mana-mana kenapa bisa kita memasang wallpaper yang sama? Kebetulan, iya itu hanya kebetulan.
"Iya nih kebetulan banget, gak mau makan cuma mau minum-minum aja. kamu udah mau pulang Nay?" Jawab dia dengan santai.
"Iya aku udah selesai nih. aaah minum-minum, bilang aja mau janjian ketemu sama pacar, ngaku!" Dengan nada dan gaya yang (sok) santai aku coba menyembunyikan kegugupanku.
"Dasaar kamu, iya nih mau ketamuan disini. tapi kayaknya dia belum dateng deh" Aria menjawab godaanku sambil sibuk menyapu pandangan kedalam restoran.
DEG!
Sejujurnya aku menyesal telah melemparkan kalimat itu. Entah apa yang membuat degup jantungku seperti tak mampu lagi berdetak mengetahui mereka akan bertemu di sini. Aaah, aku begitu bodoh. Rasanya aku ingin mengulang waktu beberapa detik saja sebelum aku mengucapkan kalimat yang malah menjadi boomerang bagiku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa selain menyunggingkan senyum yang sesungguhnya penuh kepedihan di kedua sudutnya. Aku tersenyum begitu manis, tapi hatiku menangis, seperti teriris.

Harapan ku pada detik itu adalah "sadarkanlah teman-temanku secepat mungkin dan memanggilku agar ada alasan yang anggun untuk menghilang dari jangkauannya". Membayangkan wajah kekasihnya saja hatiku meringis, apa lagi kalau sampai dapat ku tangkap wajahnya dalam indera pengelihatanku. Memasang senyum didepan teman-temanku saja sudah menghabiskan jutaan usaha yang kukerahkan, apa lagi harus melemparkan senyum pada perempuan yang jadi kepunyaannya dia.

Dan tuhan seperti mendengar pintaku. Dapat kurasakan tangan Dina memegang pundakku. Aku tersenyum lega, kutolehkan kepalaku.
"Hai Nayla! Kamu di sini juga ya?" Untuk kedua kalinya aku terperanjat. Bukan Dina yang menyapaku.
Dan tuhan seperti mendengar pintaku. Dapat kurasakan tangan Dina memegang pundakku. Aku tersenyum lega, kutolehkan kepalaku Bukan Dina yang menyapaku.
Ternyata sesosok manusia yang jauh berada didalam kehidupan masa lalu ku,dia mungkin pernah berarti beberapa tahun yang lalu,namun itu dulu...semua terasa indah saat aku belum mengetahui siapa sebenarnya dia,jantungnya terhenti sejenak,mata ku kosong tanpa harap,dan bibir ku bergetar di tengah keramaian manusia berlalu lalang.

Dia yang dulu datang diantara keengganan hatiku untuk berpaling dari cinta baru yang tak mungkin ini. sapaan itu membuat lidah yang sudah kelu menjadi semakin beku, oh Tuhan ampunilah aku dan senyuman palsu yang ku obral hari ini. Dengan sangat terpaksa kutarik 2 cm sudut kanan bibir dan 2 cm sudut kiri bibirku, aku bisa mengontrol senyumku tapi aku tak pernah bisa mengatur air mukaku.
"Dimas? ka kamu ngapain disini?" Nafasku terengah-engah, rasanya oksigen menipis disekitaran ragaku.
Tuhan! pindahkan tubuhku dari situasi ini! - teriak aku dalam hati.
"Dimas?Kamu pasti salah mengenal kami deh,aku ridwan adik kembarnya kak Dimas" seketika aku terperangah bercampur malu,demi memecah keheningan aku mulai berusaha mengakrabkan diri "oh iya...lama tak bertemu,aku lupa mengenali kalian berdua,gimana kabar kakak mu" seketika ridwan pun menunduk seraya berkata "kakak sudah tenang disana,beberapa bulan yang lalu dia telah berpulang karena terserang penyakit jangtung" seperti dihujam seribu belati,bahkan lebih...aku memang berusaha melupakan sesosok pria yang pernah menyakitiku beberapa masa yang lalu,tapi hati ini seakan bergaung saat mendengar kabar yang memilukan telinga ku.

"Dimas? meninggal? secepat ini?" masih dalam ketidakpercayaan yang besar aku berusaha mengontrol laju deru nafas dan detak jantungku.
"Nay, kakakku sudah banyak salah sama kamu, aku atas nama kakak memohon maaf atas semua yang sudah dia lakukan ke kamu, Nay" Ridwan tertunduk.
tanpa aku sangka Aria yang masih berada dalam lingkaran pembicaraan kita, dia menyentuh pundak ku dan membisikkan "Nay, ikhlaskan dan maafkanlah dia". Ku tarik wajahku hingga tegap dan berusaha menenangkan Ridwan yang sesekali terlihat sayu, "Rid, tanpa kamu atau kakakmu meminta maaf, aku sudah memafkannya. yang sabar ya Ridwan" aku mengusap pundak Ridwan yang terlihat sedikit berguncang.
Ridwan pamit pergi dalam lingkaran percakapan kami, tersisa aku dan harapan ku (Aria). Lisa salah satu temanku akhirnya menghadap dengan wajah sempurna tertekuk, setelah sampai di dekat ku lisa menarik keras tangan dan berbicara padaku "Naaay, ayo pulang. gw ngantuk!" - Lisa salah satu teman yang paling manja di kelasku, tingkah lakunya yang seperti anak kecil membuat kita sepakat memanggilnya acil, singkatan dari anak kecil.

Perpisahan? aku tidak pernah mahir mengucapkan kalimat perpisahan pada semua orang apa lagi pada Aria, mulutku tidak berkata apa-apa hanyak isyarat tangan yang ku lambaikan kearahnya sampil menunjuk ke arah lisa. dia tersenyum, hatiku menjadi vakum.

Langkah demi langkah aku gerakan perlahan,masih tertegun tidak percaya atas kejadian yang beberapa menit aku lewati.Sekilas hati ku berharap,berharap aria memanggilku dan melontarkan senyum perpisahan,namun...Aku yang membuka pintu mobil tersadar bahwa itu hanya lamunan bisa,itu hanya sebuah harapan yang seharusnya tidak ada dalam otak ku.Pengalaman ini membuat ku seakan lahir kembali,begitu banyak hal yang belum siap aku hadapi harus aku lewati,iya...Inilah hidup,inilah dunia,penuh dengan fana yang terkadang berselimut dibalik realita.

Selama perjalanan teman-temanku masih sibuk dengan candaan renyah mereka masing-masing, saling melemparkan guyonan, sahut menyahut tawa lepas. Dan lagi, mereka lagi lagi tidak mengetahui kecamuk dalam hatiku, dan perputaran pikiran dalam otakku. Sore merangkak pergi berganti malam, langit menjadi gelap perlahan serta bulan yang berusaha dengan keras untuk menjadi penerang.
Aku merasa pergantian warna langit menjadi penanda selamat datang untuk dunia ku yang seutuhnya.
sesampainya dirumah, kegiatan rutin ku adalah kembali memasuki kamar dan mencari sudut paling tidak bisa dijangkau oleh cahaya sedikitpun.

Aku yang mencintai gelap bukan berarti aku membenci terang.
Gelap menurut ku sangat jujur, gelap itu apa adanya, gelap itu tanpa rekayasa. Dalam gelap banyak sisi yang tidak tersebar luas seperti terang, gelap itu dipandang misterius tapi bagiku gelap adalah hal yang sangat romantis.

Banyak sisi gelapku yang tak terjamah oleh orang lain, tapi hakikatnya gelap bertemu dengan gelap akan menjadi keserasian yang abadi.

Setidaknya untuk gelapku malam ini teramat banyak bekal yang dapat ku renungi, aku dapat memutar ulang kembali memori masa lalu tentang Dimas dan aku dapat memutar maju menyusun masa depan dengan Aria harapan ku saat ini dan entah sampai kapan dia akan tetap menjadi harapan.

Gelap, inilah aku. bantu aku untuk tenang walau hanya untuk sebentar.
 FIN~

by : Putra Zaman , M. Pratama Leonardy , dan Insany C Kamil

Read more...
separador

Selasa, 26 Februari 2013

Aku Mencintai Kamu Mencintai Dia

Adalah aku yang menjadikan kepunyaanmu sejati di dalam hati.
Aku tak pernah sadar kenapa hati itu terus tertuju pada kepunyaanmu, aku pun tak pernah tahu jawaban dari pertanyaan orang-orang yang ada disekitarku. Semua menjadi terang dan sangat benderang, sanking benderangnya mata ku sampai tak dapat lagi terbuka. Cahaya kalian sangat terang ternyata. Ganggaman kalian sangat kuat ternyata. Garis kalian sangat tebal ternyata. kalian membuat aku semakin lemah dan melemah tiap harinya.

Adalah kamu yang dicintai banyak orang dan kalangan.
Apa yang mambuat semua orang dengan mudah mencintaimu? Terlalu banyak alasan, kamu teramat pintar memperlakukan orang yang ada dihadapanmu. Kamu teramat baik menerima orang yang baru datang dalam jangkauanmu. Kamu teramat bijak menyusun kalimat untuk orang yang menumpahkan keluh-kesah kearahmu. Inspirasiku seketika lancar tanpa hambatan jika membayangkan wajahmu, senyummu, tuturmu, dan tingkah lakumu. Pantaslah kamu dicintai banyak orang, sayang. kamu sempurna membuat para jari penulis menari indah dan lincah diatas keyboard meraka.

Adalah kamu yang teramat beruntung ada dihatinya.
Kamu! aaah kamu... Sadarkah keberuntungan yang kamu dapatkan karna telah berhasil masuk dan tinggal di dalam hatinya? Kamu menginap berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun didalam hatinya. Kamu bosan gak? (hehe) pasti dengan lantang akan kamu jawab "TIDAK bosan". Tidaklah mungkin aku memaksamu untuk berbagi dia dalam kehidupan nyata. tentu tidak, karna secara pribadi sudah ku tanyakan itu pada dia. Aku akan dengan sangat gemulai mengambil langkah mundur kebelakang dan diam sejenak untuk memastikan kalian jalan berdampingan dengan aman. 

Adalah kalian yang saling jaga dan menjaga satu sama lain.
Kalaulah harus dengan dihadirkannya aku dapat menguji kekokohan cinta kalian berdua maka dengan sangat yakin aku memutuskan bahwa kalian LULUS uji..
Selamat.
Dan semoga kedepannya tidak kalian temui aku-aku yang lainnya. Dan kalaupun memang harus ada aku-aku yang lainnya, setidaknya kalian sudah tahu apa yang harus kalian lakukan.

Adalah aku yang mencintai kamu, kamu yang mencintai dia.
Sebuah garis lurus yang tidak akan pernah terhubung. Sampai kapanpun, kecuali 1 hal. dan aku rasa kita semua sama-sama tahu 1 hal itu apa. Iya, 1 hal itu adalah Garis TakdirNya.
Let's wait and see, baby...

aku mencintai kamu mencintai dia

Read more...
separador

Senin, 11 Februari 2013

Dari tiada tetap menjadi tiada

Menjadi batu yang masuk tiba-tiba dalam tenangnya permukaan air, menimbulkan riak yang tidak kecil dan menjadi sesuatu yang dapat mengubah keindahan dan kealpaannya resah.
Aku diluar kalian, yang awalya bukan siapa-siapa dan akan tetap menjadi bukan siapa-siapa.

Maaf karna dengan hadirnya aku membuat parasmu yang tadinya riang menjadi garang.
Maaf karna dengan hadirnya aku membuat hatimu yang tadinya tenang menjadi gersang.
Maaf karna dengan hadirnya aku membuat jarak antara kalian kian renggang.

Kalian diciptakan untuk berpasangan,
Kalian diciptakan untuk saling berpegangan,
Kalian diciptakan untuk saling menguatkan,

Jangan jadikan aku sebagai penghalang rencana indah kalian,
Jangan hiraukan aku dan tetaplah menatap terangnya masa depan kalian,
Jangan perlemah laju larimu dan terus kejar semua impian kalian,

Kalaulah harus ada yang sakit disini, itu adalah aku,
Kalaulah harus ada yang meringis disini, itu adalah aku,
Kalaulah harus ada yang memudar disini, itu adalah aku,

Terima kasih karna sudah begitu terbuka menarimaku,
Terima kasih karna sudah bersedia memantauku,
Terima kasih karna sudah manjadi pendengar yang baik untuk semua asaku,

Sejatinya, dari awal kita adalah teman dan sampai kapanpun akan menjadi teman.
Aku yang bahagia atas kalian, dan aku yang berhutang membuat kalian menjadi bahagia atas aku.
Sampai bertemu di fase kehidupan selanjutnya.

sad side

Read more...
separador

Sabtu, 09 Februari 2013

Love Letter from My Beloved

 Assalamualaikum Wr.Wb

Anakku, niatkanlah hidupmu untuk ibadah, kalau itu sudah kelian pegang maka hati masing-masing kalian tenang dan damai. Kepercayaan harus ada di dalam diri masing-masing kalian.
Pikirkaan terlebih dahulu segala ucapan dan tindakan agar tidak saling menyakiti dan tersakiti.

perjalanan kalian masing panjang...
Janganlah mengecewakan segala perjuangan dan pengorbanan orang tua. tidak ada orangtua yang ingin anaknya gagal baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Ingatlah sayang, dunia ini hanya fana. jangan termabukkan oleh kenikmatan dunia yang sesaat, cobaah koreksi masing-masing kalian. mari kita saling mengingatkan karena bukan selamanya orang tua itu selalu benar, juga termasuk dalam hal ibadah.

Kami pernah mengalami yang kalian rasakan sekarang. tapi, ingatlah jagan melampaui batas. Peganglah kunci agama di tangan kalian, gunakan setiap isi harimu untuk hal-hal ibadah. Ibadah bukan hanya Sholat saja,tapi terseyum itu ibadah, tidak prasangka buruk itu ibadah dan masih banyak lagi.
Jikalau sesuatu itu diniatkan untuk ibadah tentunya semua berpasrah pada Allah karena tindakan masing-masing kalian Allah-lah yang melihat karna kalian sendiri tidak bakal mampu mengawasi 24 jam. Serahkan semua pada Allah.

Berkomitmenlah kalian untuk tidak saling menyakiti. luruskan niatmu itu, bahwa Allah akan meliat dan menghukum kalian bila saling melanggar.
Selanjutnya harapan orang tua hanyalah kalian meningkatkan ibadah dan sukses dalam study.

Wassalamualaikum Wr.Wb
1 Agustus 2009 - Ayah.

*Note : Berprasangka buruk akan menggugurkan ibadah kita. Ibarat mengumpulkan ranting keirng kemudian membakarnya, ibarat kera yang menangkap belalang dan dimasukkan kedalam ketiak kanan lalu menangkap lagi dan dimasukkan ke ketiak kiri sehingga akan lepas semuanya, Hadist Riwayat Muslim Bukhori.
Original Letters
 "Ini adalah surat yang ditulis oleh tangan ayahku beberapa tahun yang lalu. surat yang tersimpan rapi di lemari rias di kamar ayah dan ibu dan baru saya baca hari ini. Iya, dia adalah ayahku yang terus mengajarkan pada anak-anaknya untuk memelihara keseimbangan. keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi, karna keseimbangan pasti akan memancarkan keselarasan. Ayah pernah mengutarakan ini padaku "Ayah hanya ingin seperti Lukman yang tercatat kekal namanya dalam Al-Qur'an, Lukman bukanlah nabi, apa lagi Rasul. Lukman hanyalah seorang ayah. iya seorang ayah yang sepanjang hidup mengajarkan untuk Jangan sekali-kali menyekutukan Allah kepada semua anaknya. Ayah ingin seperti Lukman". Oh iya, dia lah Lukman untuk saya dan seluruh adik-kakak saya, Tidaklah pernah lupa kupanjatkan Syukur karna telah terlahir dan dibesarkan dalam keluarga yang "Antik" ini. Terima kasih ayah, untuk semua yang sudah, sedang dan akan berikan terutama untukku. Ich Liebe Dich Vater! <3"

Read more...
separador