Kamis, 28 Februari 2013

Akulah sebab dan akibat

Terbaring lemah aku di atas kasur tua dalam kamar ukuran 3x3 m kepunyaanku, mungkin bagi sebagian teman-temanku ini tak layak disebut kamar tapi lebih tepatnya ini adalah gudang. Iya kadang aku pun berfikir seperti itu, kala mata ku menangkap semua barang yang tak beraturan dalam ruang ini. Terselamatkanlah ini disebut kamar hanya oleh sebab ada kasur tua yang menipis tiap tahunnya "menghiasi" sudut ruangan ini.
Disini sunyi, sangaat sunyi yang terdengar dalam jangkauan telingaku hanya suara detik yang dikeluarkan oleh jam dinding. Malam yang kian melahap sinar, menandakan hampir tengah malam dan aku masih terjaga.

Terjaga untuk menanti kepergian orang yang selama ini menjadi pemasung kehidupanku, Ayah. Dalam domain waktu yang kebanyakan orang menjadi waktu untuk beristirahat tapi menjadi waktu mulai bekerja ayahku. Masih terpejam mata ini, dan dia mulai membuka pintu "reot" kamarku. "Nak, aku berangkat yaa..". sebelum langkah dia mendekat kearah pintu ku, bau menyengat parfum menyergap hidungku.

Ayahku cukup tampan, bahkan di usianya yang mendekati setengah abad. Posturnya cukup tinggi dengan perawakan yang tegap meski tak kekar. Dengan senyum yang selalu terpatri di bibirnya, dia selalu nampak lebih muda sepuluh tahun dari usia sebenarnya.

Pria itu mengecup dahiku lembut. Rambut brunet bergelombangnya memburai di wajahku. Bibir bergincu merah terangnya berjinjit. Dua kelopaknya berpesta, dengan saputan hijau dan merah kecoklatan, dibatasi garis hitam tebal dan bulu mata nan lentik. Pipinya merona. Jemarinya membenahi kembennya.

"Ayah, sebentar," panggilku. Lantas beranjak dari ranjang susah payah, menyisir riap rambut yang jatuh di dahinya. "Wig ayah masih berantakan."

Pria itu hanya mengulum senyum kala aku selesai membenahi penampilannya. "Ayah sudah cantik kan?"

Aku mengangguk.

"Sudah ya, ayah pergi dulu. Doakan hari ini ayah dapet customer, nak," pamitnya, membelai rambutku.

Aku tidak menjawabnya. Beliau pun tidak ingin tahu jawabanku. Pria itu berlalu, dan yang terdengar kemudian adalah decit pintu dan suara kunci yang diputar. Aku sendiri.

Ya, ayahku adalah seorang transgender.
Suyinya malam menggemakan suara langkah heels ayah yang beradu dengan aspal dingin. Aku melemaskan persendian kaki ku dan menjadikan tembok lusuh rumahku menjadi sandarannya, pada saatsaat seperti ini yang selalu bergeming dalam benakku adalah kata-kata "Andai mama masih ada". 1 susunan kalimat itu sempurna memacu gambar khayalan tantang apa yang akan terjadi bila sosok mama tidak lenyap pada timbunan tanah sore itu.

Usiaku tidak remaja lagi, usiaku menginjak 20 tahun dan tepat besok aku harus menanggalkan usia 20 tahun demi tercetaknya usia baru yang bertambah besar jumlahnya namun berkurang porsi "jatah" hidupnya. Entah sudah berapa kali ulangtahun yang kulewatkan sendiri tanpa ada sosok ayah sekaligus mama disekitaranku. Mungkin dia lupa, atau mungkin ingatan akan ulang tahunku tertimbun dalam tebalnya bedak yang setiap malam dia paparkan.

  
Berharap pada ingatan ayah akan ulang tahun? Mungkin terlalu berlebihan. Karena yang tersisa dari hariku adalah pagi dengan dengkuran ayah. Kadang kala disertai dengan kekasihnya, Ari. Tak jarang aku memergoki dua pria itu bercumbu di sofa, melenguh, berbisik cinta, lantas berteriak. Pemandangan itu, sungguh menyulut hasratku untuk membakar dua mataku.

Mungkin tahun ini akan sama. Ah, tidak. Barang pasti tahun ini tidak akan berbeda.
Mata air yang menggenang, kuseka kasar. Tidak ada yang harus ditangisi.
Berusaha keras untuk menerima semua kenyataan dan mengibas semua angan yang di awali dengan kata "andai saja", setidaknya aku menjadi tahu alasan kenapa Tuhan melarang umatnya untuk berandai-andai. karna berandai-andai adalah sebuah hal yang membuangbuang waktu dan membuat harapan meninggi tanpa ingat dasar.
ku jatuhkan badanku dikasur dan seketika aku terlelap.

Pagi, selamat ulang tahun... aku.

Aku tersenyum miris pada kalender usang di kamarku. Ya, pagi tetaplah sama, dengan cerah yang sama. Pun dengan muram yang serupa. Durja. Kutarik nafas panjang dan menyingkirkan harapan.

Kuseret kakiku malas untuk keluar. Namun apa yang kulihat setelah membuka pintu adalah suatu yang berbeda. Ayahku berdiri di dapur, mengenakan celemek masak milik ibu. Beliau berbalik ke arahku kala mendengar suara derik pintu.

"Sudah bangun? Apa ayah membangunkanmu, nak?" tanyanya.

Aku terhenyak. Sejak kapan beliau bisa bangun pagi. "A--ah... Sudah, yah. Ayah sedang apa?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, beliau menyuruhku duduk di meja makan. Aku hanya mengerutkan dahi bingunh. Aku menurut saja dan mningglkannya sendiri di dapur.

Tak beberapa lama, beliau menghampiriku. Di tangannya, ia membawa hati-hati kue tart putih sederhana. "Fian, selamat ulang tahun!"

Aku terperangah.

Ayah.

Mengingatku.

Dahi ayahku berkernyit, "Fian? Kok diem? Ditiup dong lilinnya. Kan ayah susah-susah bikinnya..."

"Ayah... bikin sendiri?" tanyaku. Menatapnya tak percaya.

"Iya dong! Walau dibantu Bu Marni tetangga sebelah, sih... Tapi ini semua dari tangan ayah kok!" jawabnya, menekankan bahwa kue itu memang hasil karyanya.

Karya pertamanya.

"Sekarang, berdoa dulu dan tiup lilinnya. Ayo ayo!" rajuknya setengah memaksa.

Aku tersenyum simpul. Kelopakku menutup, aku mengucap permohonan. Lantas bibirku mengerucut, meniup tiap lilinnya. Dua puluh lilin kecil yang menjulang di permukaan kuenya.

Ayahku bertepuk tangan, kelewat heboh sejujurnya. Aku hanya tersenyum haru dan memeluknya, erat. Sangat erat. "Makasih ya, yah..."

Beliau tidak menjawab. Hanya mengusap punggyngku lembut. Hangat.

"Nak, apa permohonanmu barusan?" tanya ayahku kala aku melepaskan rengkuhanku.

Aku menggigit bibir bawahku. Aku tak tahu apa aku boleh mengatakannya. Lebih tepatnya apa aku bisa mengucapkannya pada ayahku? Rasa-rasanya tidak.

"Ayolah, Fian... Ayah kan juga ingin tahu..."

"Ayah tidak akan marah kan kalau Fian beri tahu?" tanyaku takut. Tanpa kusadari, jantungku telah memompa keras. Dentumannya yang kuat menggebrak dada.

"Kenapa harus marah? Kamu ini ada-ada saja." ayahku tergelak.

"Aku ingin..." ucapanku terhenti. Ayah melihatku penasaran, hingga aku melanjutkan, "...ayah berhenti jadi pekerja malam..."

Kali ini ayahku terhenyak.

"Maksudku, ayah bisa kerja yang lain. Aku juga bisa membantu ayah, meski aku tak cukup kuat. Atau..."

Senyap, aku merasa bersalah mengatakannya. Meski aku tak merasa salah untuk memikirkannya. Namun, mungkin ayahku lebih nyaman dengan pekerjaannya kini.

"Maaf, yah..." Aku tertunduk. Harusnya aku tidak menyatakannya. Harusnya kulesakkan saja pemikiran itu. Harusnya aku--

"Baiklah. Ayah akan berhenti."

Aku menengadah. Mata kami bersirobok. Kulihat sepasang rubi di matanya, menatapku lembut. Aku... tak tahu harus berkata apa. Kutarik beliau dalam rengkuhku sekali lagi.

"Terima kasih, yah..." balasku, sangat lirih. Nyaris berdesis.

Rengkuhan ayahku pagi ini sangat hangat. Menyenangkan, menenteramkan hati, pun membuncahkan adrenalin. Hari istimewa ini, tidak ada yang bisa lebih istimewa. Untuk pertama kalinya sejak mama meninggalkan kami.
Mungkin akulah sebab dan akibat bagi kehidupan ayah, aku yang selama ini menjadi penyebab ayah memilih pekerjaan itu dan perubahan ayah yang menjadi akibat dari permintaanku.
aku ingin berharap...
Semoga esok menjadi hari yang jauh lebih baik bagi kami.

-fin-
 "Pada dasarnya setiap orang tua pasti memberikan sema yang terbaik untuk anaknya bahkan untuk merelakan dirinya sendiri. Karna Teramat banyak bahasa orang tua yang tidak dipahami oleh anak sebelum anak itu merasakan dirinya menjadi orang tua". 

separador

0 komentar:

Posting Komentar