Minggu, 20 Januari 2013

Sebuah (ke)Anti Klimaks(an)

Tenggelam dan hanyut dalam harummu yang dulu masih dapat kurengkuh jelas baunya. untaian kata yang selama ini menggantung di ujung kerongkongan ku sudah sempurna kau gapai dengan tabuhan genderang telingamu. Pengharapan yang selama ini aku letakkan tinggi hingga aku sendiripun sulit menggapainya sudah terlanjur jatuh dan tak lagi bertuan. 

Semua yang tumbuh akan tersedia waktunya untuk gugur kan? aku yang tidak pernah sadar kapan tepatnya ini tumbuh dan (semoga) aku juga yang tidak pernah sadar kapan tepatnya semua ini gugur. Gumpalan rasa yang selama ini ku simpan dengan seksama sekarang sudah menjadi bangkai makanan hewan yang haus akan darah. Tidak ada yang salah, iya. tidak. Semua tidak salah, hanya saja kurang tepat jika harus terus dijalankan.

Mulut ku yang dari dulu tidak fasih mengucapkan selamat tinggal pada siapapun sekarang harus mulai ku biasakan agar bila saatnya datang, aku tidak (lagi) terlihat kaku didepanmu. Terlalu banyak topeng yang kita gunakan, sampai pada akhirnya kita sendiri bingung wajah asli kita yang seperti apa bentuknya. guratan keletihan yang sangat terpancar dari wajahku yang lesu pun tidak bisa kamu tangkap dengan seketika. Sesulit itukah mengerti mauku?

Keusangan ruanganku sekarang dipenuhi oleh suara petikan dawai gitarmu yang memedihkan mata, gesekan biolamu yang memilukan sukma dan dentingan pianomu yang menyilet siluet senja.

Berdiri aku sendiri, tanpa hadirmu atau bahkan sebatas bayangmu. Waktu yang tidak pernah menyatukan kita atau kamu yang enggan untuk dipersatukan dengan ku atas izin sang Pemegang Waktu? Mungkin aku sudah teramat kenal denga rasa ini, tapi aku masih teramat asing dengan perpisahan ini.

kalau tidak bisa disini, akan ada tempat lain. Jangan pernah berjanji sesuatu hal yang tidak bisa kamu tepati. Esok belum pasti dan semua masih menjadi misteri. Tapi istana yang ku bangun sendiri itu bukan sebatas mimpi. Istana megah yang kurekatkan dengan kesabaran, lantai yang beralaskan penantian dan hiasan teras yang bergantungkan pengharapan. sebentar. Ini terlalu megah, bahkan untuk dihancurkan aku tidak sanggup melakukannya sendiri. Aku butuh orang lain yang bersedia bantu aku menghancurkannya atau bantuaku membuatkan sungai atau ladang bunga matahari disekitarnya.

kalaulah ini proses yang harus aku lewati untuk mendapatkan yang terbaik menurut sang Maha Baik. Aku akan terima. anti klimaks? iya, sengaja. Karna esok tidak ada yang tau kan? endingnya seperti apa, hanya Penulis yang mengetahui draf-nya.

Let see than,


separador

4 komentar:

Unknown mengatakan...

bangun tidur...baca postingan ini...berat bener.haddehhh...
tapi keren,setiap kalimatnya,yaaa gitu deh.
^_^"

Anonim mengatakan...

terus di explore gaya tulisan kamu,ayah bangga punya seorang putri spt kamu..! be a high quality woman....!
ayah.

Insany Camilia Kamil mengatakan...

@putra leonardy : apanya yang berat bang? orang bukan nulis tentang batu kok. hehe, alhamdulillah kalo keren.. teriamkasih pembaca setia~ :P

Insany Camilia Kamil mengatakan...

@ayah : aku disini karena ayah, aku sehebat ini pun karena ada ayah yang lebih hebat disamping aku. be a real your daughter, its me. always proud of you, and i'll always try to make, you proud. ich liebe dich vater :* <3

Posting Komentar